Minggu, 12 Agustus 2018

Dampak Bullying Serius Pada Kesehatan Saat Dewasa

Dampak Serius Bullying Pada Kesehatan Saat Anak Dewasa

Oleh Ajeng Quamila

(Source: https://googleweblight.com/i?u=https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/dampak-bullying-pada-kesehatan-mental-dan-fisik-anak/&hl=id-ID #only_repost)

Informasi kesehatan ini sudah direview dan diedit oleh: Hello Sehat Medical Review Team.

Dikutip dari Kompas, berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah laporan anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah sepanjang tahun 2015 mencapai 147 kasus, dengan total di tahun 2014 sebanyak 159 kasus.

Suka atau tidak, bullying masih menjadi norma budaya di hampir setiap sekolah di Indonesia.

Bullying adalah bentuk intimidasi atau penindasan dari satu individu atau kelompok yang lebih kuat. Bullying berbeda dengan konflik atau pertengkaran pada umumnya, karena dilihat dari tingkat pengulangan dan adanya kekuatan yang tidak seimbang antar kedua belah pihak yang terlibat. Dalam bullying, ada niat untuk menyebabkan rasa sakit dan ketidaknyamanan bagi korban, secara fisik maupun emosional.

Cakupan aksi penindasan sangat luas, mulai dari menendang, menampar, tawuran, menjambak, memukul, membentak, meneriaki, memaki, menghina, mempermalukan, menolak, mencela, merendahkan, menghujat, mencibir, mengisolasi, hingga tindakan yang bernada pelecehan seksual.

Gangguan kesehatan jangka panjang yang terjadi pada korban

Seolah dipukuli, diejek, dan diremehkan tidak cukup, beberapa anak korban bully membayar harga pelecehan konstan dengan kesehatan mereka. Ketika seseorang merasa stres dengan ancaman konstan dari bullying, respon “fight or flight” mereka akan bekerja. Ketika ini terjadi, otot-otot menegang, jantung berdebar kencang, dan tubuh melepaskan adrenalin dan kortisol. Seiring waktu, reaksi ini dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan.

Berikut ini adalah beberapa contoh bagaimana bullying bisa mempengaruhi seseorang:

Kecemasan (anxiety attack)

Depresi

Sakit punggung

Sakit perut

Cedera fisik (patah tulang, luka sobek, dst)

Pusing dan kepala berkunang-kunang

Mudah marah

Dari sakit kepala hingga mengompol

Anak korban bully memiliki tiga kali lipat peluang untuk mengalami sakit kepala, sulit tidur, sakit perut, dan mengompol, serta dua kali lebih mungkin untuk memiliki nafsu makan rendah. Bullying juga dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang pada kepercayaan diri dan harga diri.

Lebih lanjut, anak-anak yang menjadi pelaku sekaligus korban bully memiliki enam kali lipat peluang untuk mengompol, hampir empat kali lipat untuk mengalami nafsu makan buruk, dan tiga kali lipat peluang mengidap sakit perut.

Anak dan remaja dengan masalah kesehatan kronis seperti asma, kesulitan pendengaran, penglihatan, berbicara, atau gangguan pencernaan berada pada risiko yang lebih besar terhadap aksi penindasan, dan masalah kesehatan yang mereka miliki dapat diperburuk oleh aksi tersebut.

Tidak hanya berpotensi menderita luka fisik dari tindakan penganiayaan itu sendiri, tetapi mereka mungkin juga mengalami kesulitan kesehatan fisik yang bertahan lama bahkan setelah aksi penindasan sudah lama berhenti.

Bullying bisa memicu gangguan jiwa

Penelitian NICHD menunjukkan, walaupun pelaku dan korban sama-sama bisa menunjukkan peluang risiko depresi dan kecemasan, namun anak korban bully (termasuk bullyinhg di dunia maya) berada pada risiko yang lebih tinggi dan lebih mungkin untuk mengembangkan gangguan jiwa yang membutuhkan penanganan intensif saat mereka dewasa nanti, jika dibandingkan dengan anak yang tidak menjadi korban penindasan.

Ada beberapa dugaan bahwa penindasan bullying adalah bentuk dari “stres beracun” yang bisa memiliki dampak pada respon fisiologis terhadap kesulitan yang dialami oleh anak, yang kemudian bisa bermanifestasi pada masalah fisik dan mental yang berlanjut di usia dewasa.

Saat dibully, tubuh bereaksi seperti sedang melawan infeksi

Masih belum jelas bagaimana pengalaman bullying di masa kecil diterjemahkan ke dalam masalah kesehatan jangka panjang. Dikutip dari The Conversation, sebuah studi menemukan bahwa korban bullying memiliki tingkat protein dalam aliran darah (protein C-reaktif/CRP) mereka yang berhubungan dengan melawan infeksi — bahkan sampai usia dewasa muda.

Tingginya kadar CRP merupakan respon umum yang menunjukkan bahwa tubuh sedang bekerja baik melawan infeksi, bereaksi terhadap cedera, atau menanggapi kondisi kronis seperti arthritis.

Penelitian ini menunjukkan bahwa CRP juga dapat meningkat pada kelompok orang yang mengalami penganiayaan oleh orang dewasa di masa kecil mereka. Hal ini menunjukkan bahwa tubuh bereaksi dalam cara yang mirip dengan “stres beracun” seperti halnya terhadap infeksi.

Pelaku bully juga terkena dampaknya

Sebuah studi lain melihat tingkat CRP pada anak-anak yang terlibat dalam bullying sebagai korban, pelaku, dan pelaku-korban (peserta yang membully orang lain tapi ia juga dibully), di usia sekolah dan selanjutnya, di usia dewasa.

Pada usia sekolah, peserta yang mengalami beberapa jenis bullying memiliki kadar CRP yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak lain yang sama sekali tidak terlibat dalam bullying. Kemudian, di usia dewasa, peneliti menemukan pola yang sama dari temuan tersebut: korban bullying saat dewasa memiliki kadar CRP lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak terlibat dalam bullying. Peserta yang berulang kali dibully menunjukkan tingkat CRP tertinggi.

Sementara itu, walaupun pelaku bully juga menunjukkan gangguan kesehatan dari aksi penindasan yang mereka lakukan, tingkat CRP mereka saat usia dewasa berada pada tingkat terendah dibandingkan dengan kelompok partisipan lainnya. Peneliti berspekulasi, rendahnya tingkat CRP pada mantan pelaku bully saat dewasa ini dapat melindungi mereka terhadap gejala peradangan di kemudian hari.

Kini, kita sudah mengetahui efek nyata dari bullying yang ternyata juga berdampak pada mekanisme tubuh lainnya yang terkait dengan respons fisiologis terhadap stress, seperti poros  hypothalamic-pituitary-adrenal. Contohnya, anak korban bully menunjukkan respon kortisol yang tumpul saat diuji ketahanan terhadap stres di dalam laboratorium. Kortisol adalah hormon yang dilepaskan saat tubuh menerima stress.

Perhatikan tanda-tandanya sekecil mungkin, dan jangan remehkan bully

Dalam banyak kasus, orangtua dan guru mengabaikan gejala seperti sakit perut dan sakit kepala pada anak-anak dan menganggap bahwa mereka berpura-pura demi menghindari pergi ke sekolah atau berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler. Namun studi menekankan bahwa gejala-gejala ini harus ditangani secara serius, karena mereka bisa menuntun anak terhadap masalah lain yang lebih serius. Selain itu, bertanya pada anak tentang gejala fisik mereka dapat membantu oran tua dan dokter mengetahui apakah ia sedang ditindas di sekolah, sebagai cara lain agar anak bisa lebih terbuka mengenai pengalamannya. Tidak jarang korban bull menyembunyikan penderitaan mereka di sekolah dari orangtua.

Kita perlu meninggalkan persepsi bahwa tindakan bullying tidak berbahaya dan menjadi bagian alami dari proses tumbuh kembang anak. Intimidasi dan penganiayaan harus dianggap sebagai bentuk lain dari stres beracun yang efeknya memiliki potensi besar pada kesehatan mental dan fisik seseorang. Efek ini telah berulang kali diamati oleh ratusan studi di luar sana, baik pada masa kanak-kanak dan juga dewasa muda.

Rabu, 08 Agustus 2018

Aku dan Lomba Menulis Cerpen

Hello blog & readers, jumpa lagi dengan saya author blog ini.

Kali ini saya ingin menceritakan pengalaman pribadi saya (lagi). Sebelumnya, mohon maaf jika penulisan saya tidak sistematis, karena saya (sebenarnya) menulis untuk kepuasan saya saja, jadi suka-suka saya gitu. Hehehe...

Karena saya suka menulis-nulis, walaupun nggak selalu jelas, suatu hari saya putuskan mengikuti lomba cerpen. Awalnya saya dapat info dari teman saya yang mendapat syarat harus 'tag' beberapa teman sebagai syarat mengikuti lomba tersebut. Saya termasuk salah seorang yang ia tag. Akhirnya saya putuskan untuk ikut lombanya juga. Dan Alhamdulillah, cerpen saya masuk 20 besar cerpen terpilih, meski bukan juara.

Dan sejak saat itu, saya jadi suka ikutan lomba-lomba menulis cerpen. Ya, cerpen saja, karena artikel apalagi essai ilmiah membutuhkan keseriusan dan kesannya baku. Saya lebih suka yang terkesan santai meski kontennya tidak melulu ringan. Sedangkan untuk lomba novel, saya masih kesulitan memikirkan alur yang panjang dan deskripsi yang detail. Jadi untuk saat ini, cerpen saja dulu. Hihihi...

Alhamdulillah, sudah beberapa kali saya menjadi kontributor dalam suatu lomba, meski belum pernah juara. Dan baru beberapa kali sih, sebagian perlombaan lainnya gagal. Ya, nggak apa-apa lah. Daripada juara, sebenarnya saya lebih suka tulisan saya (terutama jika ada manfaatnya) dibaca oleh orang lain dan bisa membuat terhibur. Tapi jika menjadi juara, tulisan kita akan sekaligus terbaca oleh banyak orang kan? Hihihi...

Padahal, waktu SMP, saya pernah punya 'trauma' dengan lomba menulis. Jadi, saya yang dulu masih remaja labil, pernah iseng ikut lomba menulis yang diadakan oleh sebuah majalah. Lombanya adalah melengkapi cerpen. Jadi, sudah ada sebagian isi cerpen, dan peserta diminta melanjutkan ceritanya dan memberikan ending. Saya bersemangat membuat cerpen ala saya, hingga akhirnya jadi sebuah cerpen. Sayangnya, sebenarnya saya tahu sih, cerpen saya tidak memenuhi aturan formatnya. Tulisannya kelebihan banyak kata dari batas kata yang diperkenankan. Namun, merasa sudah lelah dan mencurahkan segenap tenaga untuk menulisnya, saya nekat mengirimkan cerpen saya itu. Karena menurut saya, walaupun tidak menang (iyalah, nggak sesuai ketentuan mana bisa menang? Didiskualifikasi bisa jadi), yang penting hasil usaha saya tidak sia-sia.

Setelah itu, apa yang terjadi? Cerpen saya tidak menang, tentu saja. Tetapi, ada peristiwa yang menurut saya lebih 'menyakitkan', hingga saya 'trauma'.

Jadi, majalah yang saya sebutkan sebelumnya punya akun fanpage, dan saya memfollow akun tersebut. Saya tau info-info lomba yang diselenggarakan dari akun itu. Selain membagikan info lomba, biasanya akun tersebut juga membagikan tips-tips menulis atau berbagi artikel-artikel menarik lainnya.

Nah, yang membuat saya 'sakit' adalah, tepat sehari setelah saya mengirim naskah saya (yang tidak sesuai ketentuan), fanpage tersebut membuat postingan yang seolah-olah menyindir saya. Mereka tiba-tiba membahas mengenai aturan dalam penulisan cerpen dan pemformatan. Kemudian, entah perasaan saya yang terlalu sensitif atau memang benar yang saya rasakan, mereka membahas mengenai kekesalan mereka karena masih saja ada naskah yang tidak mengikuti kaidah pemformatan tersebut.

Merasa disindir, saya jadi sangat kesal. Saya merasa... bagaimana ya? Rasanya sebal, walaupun memang salah saya, tapi tetap sebal, karena mereka 'Sombong banget, orang mau belajar nulis aja gaboleh ngirim ke mereka. Kalo mau jelasin, ya jelasin kek baik-baik, nggak usah nyindir segala di postingan fanpage. Kalo karya orang jelek biarin aja sih, diemin, nggak usah dihina di depan umum kayak gitu.' . Kira-kira begitulah perasaan saya saat itu.

Sejak saat itu, saya samasekali nggak tertarik lagi dengan dunia kepenulisan. Saya merasa 'Saya samasekali nggak berbakat sampai disindir kayak gitu'.

Itulah pengalaman saya yang membuat saya trauma. Padahal ketika saya pikirkan lagi sekarang, ketika sudah lebih dewasa, yang dilakukan pihak majalah tersebut sebenarnya bagus lho. Mereka memberi feedback pada karya yang dikirim oleh pembaca. Artinya mereka melihat naskah-naskah tersebut kan? Berarti saya dulu di-notice kan? Justru jika mereka diam saja, bisa saja itu karena mereka memang tidak melirik naskah pembaca samasekali.

Dan saya juga pernah dengar wejangan senior yang pernah saya jumpa beberapa kali dalam suatu grup kepenulisan, bahwa 'Membuat dan mengirimkan suatu karya itu butuh kesiapan mental untuk diberi kritik dan saran'.

Hahaha... karena sudah merasakannya sendiri, akhirnya saya bisa sangat memahami maksud dari perkataan senior tersebut.

Untungnya, melalui 'tag' dari teman saya, akhirnya saya bisa kembali lagi ke dalam dunia kepenulisan, meski belum serius sih. Saya baru menikmatinya untuk bersenang-senang, dan saat ini saya sudah tidak kesal lagi seperti dulu. Saya juga tak peduli soal berbakat atau tidak. Karena setelah kuliah, akhirnya saya tahu bahwa suatu kemampuan disebut bakat jika telah diasah dan mulai ada perkembangan. Jika belum diasah, namanya baru potensi. Jadi, saya menangkap bahwa potensi tiap orang bisa berbeda-beda dan itu bawaan, namun bakat bisa saja sama ketika sama-sama dilatih.

Nah, setelah menceritakan asal muasal saya mengikuti lomba menulis, sekarang saya ingin meneritakan sumber motivasi saya dalam mengikuti lomba menulis. Saya pernah membaca sebuah komik berjudul "Sparkling Gingachou".

Dalam komik tersebut ada bab yang menceritakan seorang gadis, namanya Sato. Dia menyukai sahabatnya, namanya Kuro. Si Kuro karakternya memang sangat keren, selain tentu saja penampilannya juga keren.

Sato sedang galau karena ia bercita-cita menjadi komikus suatu saat nanti. Namun sampai saat itu, ia belum pernah berhasil membuat sebuah komik sampai tamat. Jadi, ditengah jalan cerita komiknya, ia tiba-tiba berhenti. Begitu terus. Sato jadi pesimis, bagaimana mau jadi komikus jika begitu terus?

Akhirnya, untuk menghilangkan kegundahan hatinya, Sato memutuskan jalan-jalan ke lapangan, dan ia bertemu Kuro. Kuro sedang latihan menendang bola. Ternyata, Kuro baru saja selesai bertanding, ia menjadi pemain cadangan membantu grup adik kelasnya bertanding. Tadinya, grup adik kelasnya Kuro hampir menang. Tapi, ketika tendangan penalti, si Kuro yang kebagian menendang bola gagal mencetak gol. Dan dia merasa sangat menyesaaall...

Akhirnya, pulang dari pertandingan, Kuro langsung mengevaluasi kemampuannya. Setelah itu, ia langsung latihan bola di lapangan -_- Gila sih, dia niat banget, padahal dia cuma pemain cadangan. Adik kelasnya saja yang kalah tidak melakukan apa-apa. Teman-teman gengnya yang mengajak Kuro nongkrong bareng, diabaikan karena Kuro mau latihan. Alasannya: siapa tau lain kali dia dijadikan pemain cadangan lagi. Sungguh terlalu niat kau Kuro-kun!

Ketika Sato bertemu Kuro, dia bertanya pada Kuro mengenai latihan yang dilakukan Kuro. Lalu Kuro menceritakan kejadian yang terjadi sebelumnya. Nah, si Sato yang sama herannya seperti orang lain bertanya lagi: "Emangnya kamu harus latian sekarang?"

Ditanya begitu, Kuro pun menjawab: "Terus aku harus latihan kapan? Nanti? Yang namanya nanti itu ga bakal pernah datang kalo kita nggak memulainya."

Mendengar itu, Sato menangis karena merasa tertohok dengan kata-katanya Kuro. Dia jadi curhat ke Kuro soal masalahnya. Lalu Sato dimotivasi oleh Kuro. Kata Kuro: "Udah, yang penting tamatin dulu komiknya, terus kirim ke penerbit. Gausah pikirin hasilnya, yang penting lakuin itu dulu. Setidaknya kamu sudah pernah mencoba."

Gara-gara Kuro ngomong begitu, akhirnya Sato berhasil menamatkan sebuah komik dan langsung dia kirim ke penerbit (walaupun tidak diceritakan hasilnya gimana).

Itu salah 1 cerita yg bisa memotivasi saya untuk mengikuti lomba-lomba cerpen. Sayangnya, cara tersebut belum berhasil untuk memotivasi saya mengerjakan PI #cry (T_T) mungkin saya butuh Kuro nya kali ya untuk memotivasi saya secara langsung (?) #eehh hahaha *canda

Baik, jadi begitulah cerita yang saya bagikan kali ini. Semoga ada manfaatnya walaupun sangat sedikit. Sekian dari saya, sampai jumpa di pos berikutnya. Dadaahh~

*nb: pengen post foto bukti saya pernah jadi kontributor tapi gabisa. Mungkin emang nggak boleh dipamerkan XD

Musik Instrumental | Akhirnya Setelah Sekian Lamaaa~

Halo blog & readers, jumpa lagi dengan saya, pemilik blog ini. Hihihi...

Kali ini, saya cuma mau menumpahkan uneg-uneg saya setelah sekian lama penasaran mengenai suatu hal. Jadi, ini merupakan curahan hati saya. Yang merasa tidak berkepentingan dengan isi pos ini, silakan pindah dari halaman ini, karena ini memang nggak penting.

Baiklah, saya langsung tulis saja biar lega hehehe...

***

Awalnya saya samasekali nggak ngerti musik. Dan nggak mau tau juga soal musik, soalnya emang nggak terlalu tertarik sama musik (padahal saya mantan anak ekskul musik waktu SD & paduan suara waktu SMA *konyol) . Saya juga nggak terlalu suka dengerin musik. Ribet juga mendefinsikan jenis-jenis musik (kalo menurut saya). Kalo cuma bedain nada gitu sih saya bisa ngerti lah, apalagi kalo emang belajar. Tapi ya gitu, saya biasa aja, nggak terlalu tertarik wkwkwk. Apalagi semenjak tau sebagian ulama mengharamkan musik, makin nggak tertarik sama musik.

Dan tiap ada orang nanya ke saya, "Lo sukanya (jenis) musik apa?" Saya cuma bisa bilang, "Gue ga begitu suka musik." Terus saya harus melihat raut muka kecewanya orang itu. Ya emang nggak bohong sih, saya emang nggak suka musik. Benci juga nggak.

Tapi sebenarnya, ada 1 jenis musik yg saya suka dari dulu, cuma saya gatau itu masuknya ke jenis musik apaan. Malahan saya kira itu cuma produk sampingan dari lagu doang. Ternyata ada namanya, musik instrumental wkwkwk. Baru sadar kalo itu jenis musik juga. Jadinsaya emang dari dulu, dari bocah kali, suka musik yang musik doang, nggak ada liriknya. Kayak soundtrack-soundtrack anime atau drama, kan sering ada yg instrumental walaupun ada yang berlirik juga. Nah, saya biasanya suka yang nggak ada liriknya itu. Walaupun kadang yang berlirik juga saya bisa suka, tapi pasti lebih suka dan gampang inget yang nggak ada liriknya. Wkwkwk.

Katanya contoh terbaik dari musik instrumental adalah musik klasik. Tapi kayaknya saya nggak suka-suka amat sama musik klasik deh, cuma suka sedikit lagu gara-gara game piano, dan bahkan saya lupa judulnya lagunya apa. Tapi itu emang bagus, jadi saya suka. Intinya, saya suka musik instrumental, tapi lebih suka soundtrack aja, musik klasik terlalu 'berat' hihihi...

Akhirnya saya akan bisa menjawab pertanyaan orang, walaupun setelah saya cari info lebih lanjut, ternyata yang suka musik instrumental terutama musik klasik nggak banyak. Jadi yaa... pada akhirnya lagi-lagi selera saya antimainstream wkwkwk #curcol hahaha... saya udah biasa sih punya selera yang tidak seperti kebanyakan orang hahaha...

Apa di antara kalian (yang kebetulan membaca ini) ada yg suka musik instrumental juga? Hehehe....