Sabtu, 23 Maret 2019

Aku, Puisi, dan Lomba Menulis Puisi

Puisi
Tak pernah kubermimpi
Akan memilih diksi
Merangkai
Dan membuatnya menjadi
Sebab tak kuduga sebelum ini
Bahwa aku mampu berpuisi

Jujur, saya tak begitu paham puisi dari dulu. Entah karena saya idealis, atau karena alasan lainnya. Sejak dulu, saya selalu berpikir bahwa puisi adalah untaian kata yang (seharusnya) bisa menyentuh perasaan. Dan dinikmati dengan cara menghayatinya, hingga hati terasa penuh bahkan sesak, karena terbawa perasaan.

Dan pertanyaan saya dulu: "Bagaimana saya bisa menikmati puisi jika terlalu banyak kiasan yang tak saya pahami? Jika saya tak paham, bagaimana saya akan bisa merasa?"

Itu dulu. Dan sejak dulu, saya memang "menghindari" puisi. Jika dalam suatu majalah, koran, tabloid dan semacamnya terdapat kolom puisi, saya hampir tidak pernah membacanya. Menurut saya, lebih mudah memahami cerpen, cerbung, cermis, cermin, novel ataupun artikel, daripada puisi.

Lucunya adalah, suatu hari, saya iseng mengikuti lomba menulis puisi dari sebuah penerbit indie. Hanya berbekal kemampuan merangkai kata saya yang seadanya, dan pemahaman mengenai puisi yang hampir 0. Dan baru pertama kalinya saya mengikuti lomba puisi, Alhamdulillah karya saya terpilih menjadi kontributor. Sungguh tak kusangka.

Ada 2 lomba puisi lagi yang saya ikuti dari penerbit indie yang lain. Dan lagi-lagi, saya terpilih menjadi kontributor.

Karena ketiga lomba tersebut, saya jadi mulai mempertanyakan kemampuan dan pemahaman saya mengenai puisi. Atau mungkin, hanya mindset saya saja yang salah?

Mungkin pemikiran saya bahwa cara menikmati puisi adalah dengan dihayati harus diubah agar lebih fleksibel. Saya tak boleh terlalu idealis. Karena ternyata, ada teman saya yang kurang mengandalkan perasaan, lebih mengandalkan logika, namun bisa pula menikmati puisi. Karena baginya, puisi adalah teka-teki yang seru untuk dipecahkan. Menurutnya, memilih tema, menetapkan makna, membuat alur (?), menuangkan dalam kata, memilih kata untuk dirangkai hingga menjadi sebuah puisi mirip dengan permainan strategi. Dan mempelajari, atau dalam bahasaku menebak-nebak kenapa seseorang menulis seperti itu, apa maknanya, rasanya seperti menebak teka-teki.

Jika teman saya saja bisa menikmati dengan "cara lain", kenapa saya tidak? :D

Dan pada akhirnya menurut saya, proses membuat puisi (jika karya saya bisa disebut puisi) atau memahami puisi, semua itu, seperti permainan yang menyenangkan. Mungkin saya belum bisa menghayati puisi, namun seru rasanya merangkai kata-kata. Dan menebak motif seseorang menulis, atau mencari pesan moral dari tiap puisi, rasanya juga menyenangkan.

Saya tak tahu ke depannya saya akan bagaimana. Tetapi rasanya, saya akan belajar menyukai puisi. Dan jika mungkin mencintainya. Sama seperti saya belajar mencintai dunia kepenulisan. :)

Kamis, 21 Maret 2019

Keajaiban Kata Katamu

Orang bilang, selaiknya aku move on darimu. Seseorang yang membekas sangat kuat dalam diriku, meski hanya mengenal sesaat. Hahaha

Kau tahu, ternyata move on darimu tidak mudah. Atau lebih tepatnya aku belum mau. Aku ingin move on, tetapi sepertinya tidak sekarang. Karena aku masih sering bertanya: "Untuk apa?"

Ya, untuk apa move on cepat-cepat jika aku samasekali tak terganggu dengan kenyataan "aku mencintaimu namun tak bisa memilikimu" ?

Bukannya aku mengharapkan dirimu kembali, tidak juga. Aku hanya... apa ya?

Aku orang yang selektif, jika kau ingat, jika kalian tahu. Jadi, aku mencoba untuk membuang kenangan-kenangan tidak menyenangkan tentang dirimu, tentang kita, dan tetap kusimpan yang baik-baik. Bahkan kujadikan motivasi. :)

Seperti kata-kata yang satu ini:

"Pada setiap harinya aku berkembang"

Hmm... secara keseluruhan, sebenarnya kau menuliskan sajak yang menyedihkan bagiku. Namun aku memilih mengingat bait yang bagus saja, bait yang itu hahaha

Pada setiap harinya, kau berkembang. Akupun ingin menirumu, berkembang menjadi lebih baik, di tiap hariku. :D

Dan masih banyak kata-kata lain darimu yang selalu kuingat. Yang bisa membuatku tersenyum sendiri sewaktu-waktu :) dan bisa membuatku termotivasi menjadi lebih baik :)

Mungkin benar kata seseorang yang berarti bagiku: "Dia adalah idolamu." Ya, benar, namun hanya dalam beberapa hal ya. XD

Kau adalah favoritku, entah sebagai apa saja. Dan entah sampai kapan. Mungkin saja akan selalu, mungkin juga tidak. Yang jelas, untuk saat ini, aku ingin senyumku tetap sering terkembang dengan adanya kamu, maupun tanpa kamu. :)

Terimakasih pernah hadir dalam hidupku, dan meninggalkan berbagai kenangan dalam kata-kata. :) aku tinggal memilih, mana yang harus selalu kuingat, mana yang sebaiknya kulupakan. :)

*nb: Untukmu, tenang saja, aku baik-baik saja di sini. Dan dikala mengetik ini, sebenarnya masih mencintaimu, meski rasanya enggan membuat kenangan baru lagi. Kamu juga harus baik-baik saja ya. :D kita harus baik-baik saja, meski (mungkin) tak bersama lagi (sebenarnya aku tak tahu apakah semua hubungan kita benar-benar sudah berakhir atau tidak). I think you're my bestfriend ;)

Senin, 18 Maret 2019

Bagaimana Cara Mengubah Sistem Pendidikan agar Lebih Baik bagi Pelajar?

Saya bukan ingin membahas opini dengan panjang lebar, melainkan melemparkan sebuah pertanyaan seperti yang tertera di judul.

Namun saya pribadi merasa, "ketakutan-ketakutan" yang dialami pelajar selama proses belajar harus bisa dihilangkan agar proses belajar bisa sedikit lebih baik. Saya berpikir, bahwa sebaiknya belajar itu menyenangkan, bukan menakutkan. Belajar akan lebih mudah jika menyenangkan. (Saya termasuk terhambat mungkin karena ada ketakutan, mungkin ya.)

Lalu akan muncul pertanyaan lainnya, ketakutan seperti apa? Apa saja yang menjadi ketakutan para pelajar? Bagaimana cara menghilangkan ketakutan tersebut dari diri para pelajar? Dan bagaimana cara mencegah agar ketakutan tersebut tidak perlu muncul?

Atau jika terlalu sulit, kembali kepada pertanyaan dasar: sudahkah semua pelajar memahami apa itu belajar? Belajar yang seperti apa?

Atau mungkin ingin lebih jauh? Sudahkah semua pengajar memahami apa itu belajar dan mengajar?

Atau pada akhirnya saya akan bertanya pada diri sendiri: "Apakah saya termasuk pelajar yang gagal karena kurang giat, atau pelajar yang kurang ajar karena banyak menuntut?"

Minggu, 10 Maret 2019

DE JAVU-Kutemukan di Linimasa Facebook, dan Tak Tercantum Penulisnya

Kuletakkan dalam blog ini, karena mernurutku menarik, dan maksud hati ingin menyimpannya agar tidak hilang semudah membalikkan telapak tangan.

***

DE JAVU MENURUT PANDANGAN ISLAM

Ketika kamu diperkenalkan dengan seseorang, pernahkah terbesit
dalam hati, “Rasanya saya pernah bertemu orang ini. Di mana, ya?” Padahal, kamu belum pernah bertemu sebelumnya. Itu disebut gejala deja vu. Déjà vu adalah suatu perasaan aneh ketika seseorang merasa pernah berada di suatu tempat sebelumnya, padahal belum. Atau, merasa pernah mengalami suatu peristiwa yang sama persis, padahal tidak. Konon, orang tang sering mengalami hal itu memiliki bakat spiritual tinggi.

Para skeptis menganggap itu hanya sensasi. Namun banyak juga ahli yang percaya bahwa hal itu memang nyata. Ada yang menyebut bahwa peristiwa yang dirasakan berlangsung pada kehidupan silam. Ini bagi penganut paham reinkarnasi. Bagaimana bagi orang islam ? Surat Al Hadid ayat 22 di atas memberi sekilas isyarat. Bahwa segala sesuatu yang belum terjadi, sudah tertulis dalam kitab. Tengoklah juga surat Ash-Shaaffaat (37) ayat 96, “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat."

Semua peristiwa di bumi dan semua perbuatan kita memang sudah ada sejak awal. Lalu, akan terjadi satu per satu secara berurutan. Dan pada waktunya, akan terekam dalam saraf penyimpan di otak, mungkin suatu ketika terjadi short-circuit, korslet di otak seseorang. Lintasan listrik di otak melompat nyerempet sinyal ke wilayah yang belum terjadi. Maka orang merasa sudah pernah mengalami atau melihat sesuatu. Padahal yang terjadi adalah dia “pernah” melihat, tetapi di masa depan. Selama ini “pernah” hanya dikaitkan dengan masa lalu. Gejala déjà vu memperluas makna “pernah” hanya dikaitkan dengan masa lalu. Gejala déjà vu memperlus makna “pernah” ke masa lalu dan juga masa depan.

Aneh? Tidak juga. Kita lihat dalam Surat Al Fath ayat 27, Allah membuka peristiwa ketika nantinya Rasulullah Saw. Memasuki Mekah dengan aman. Padahal, itu belum terjadi. Lalu Surat Ar-Ruum (30) ayat 2-4 yang berisi tentang kemenangan Romawi atas Persia, padahal itu baru terjadi beberapa tahun kemudian, itu contoh penyingkapan terhadap peristiwa yang belum terjadi bagi siapapun yang membaca Al Quran. Ternyata, selain kepada para nabi, kadang-kadang Allah memberi “bocoran” masa depan kepada manusia biasa juga. Masa depan memang sudah ada saat ini. Hanya saja, kebanyakan manusia tidak bisa melihatnya. Kecuali mungkin sekilas déjà vu yang dialami segelintir orang tadi.
(sumber: habiball. blogspot. com)

Wallahu a’lam.

Semoga Kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah dan semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati Kita yang telah lama terkunci. Aamiin.

***
Sampaikanlah kepada orang lain, maka ini akan menjadi Shadaqah Jariyah pada setiap orang yang Anda kirimkan pesan ini. Dan apabila kemudian dia mengamalkannya, maka kamu juga akan ikut mendapat pahalanya sampai hari kiamat.