Wisteria, Bunga yang Indah namun Beracun.
Akhir-akhir ini, saya mengamati diri saya sendiri. Ini bukan soal paras dan penampilan luar, namun lebih kepada perilaku dan pemikiran, sesuatu yang berasal dari dalam. Mungkin saya mirip seperti judul tulisan ini: Wisteria.
Sampai akhirnya, saya mulai tergila-gila dengan penampakan bunga wisteria yang cantik itu. Lagipula, wisteria mengingatkanku kepada seseorang, yang sangat mirip dengan aku namun bukan aku. Dan lama-lama, tanpa kusadari, aku pun mulai makin menjadi mirip seperti dia. Awalnya kami memang sudah mirip, tapi semakin lama mungkin aku semakin mirip dengannya karena tanpa sadar semua yang pernah dia lakukan, aku pun melakukannya pula. Dulu aku tidak mengerti sebagian sisi dirinya, tetapi semakin lama aku semakin bisa mengerti sisinya yang dulu pernah membuatku bingung sekaligus penasaran.
Wisteria, oh wisteria. Kini aku pun menjadi mirip denganmu, seperti dia yang sejak awal sudah terlebih dulu mirip dengan kamu dibandingkan aku.
Dan karena saya adalah wisteria… sebenarnya saya tidak pernah meminta merasakan terluka sampai menjadi trauma akibat perbuatan orang lain, apalagi meminta berperan menjadi traumanya orang lain. Tapi misal terlanjur terjadi seperti itu, suka tidak suka, mau tidak mau, karena sudah terlanjur terjadi, berarti itu takdir, takdir yang pahit. Diizinkan berhasil terjadi di dunia ini oleh Tuhan, entah apa maksud dan tujuannya boleh terjadi. Mungkin ada hikmahnya, entah untuk siapa hikmahnya, dan entah hikmahnya apa.
Maafkan saya jika ada salah, saya juga akan berusaha selalu introspeksi dan memperbaiki diri demi diri sendiri dan orang-orang lain di sekitar saya jika bisa. Dan entah saya memaafkan penyebab trauma saya atau tidak namun selama masih cukup waras, saya akan berusaha untuk tidak menyakiti dan mengganggu orang lain. Tetapi memang, saya paham, ya namanya juga hidup, terkadang berlaku hukum rimba yang keras, kalau tidak menyerang ya diserang, kalau tidak melukai ya dilukai, bahkan sengaja atau tidak, hal tersebut lazim terjadi. Dunia yang secara umum penuh kasih sayang/cinta kasih kepada sesama itu sebenarnya tidak 100% mustahil sih, namun... sepertinya jauh lebih dekat kepada "utopia" daripada realita.
Kalau bisa, biarlah hidup masing-masing dengan cukup damai tanpa saling mengusik, namun jika tidak bisa... ya sudah, inilah dunia, mau bagaimana lagi? Secara logika, wajar saja merasa terluka selama kita bergerak. Bergerak itu jelas beresiko, selalu beresiko. Bahkan diam saja beresiko, apalagi bergerak? Dan karena kita masih manusia yang bernapas serta diciptakan memang mampu merasakan kesakitan, makanya wajar jika merasa kesakitan jika terluka, bahkan mungkin sampai trauma tidak ingin terluka lagi. Karena secara perasaan itu memang menyakitkan.
Makanya, itu semua perasaan yang sangat melelahkan dan memuakkan, tetapi karena masih manusia, mau tidak mau, suka tidak suka, masih tetap akan terasa jika masih cukup berperasaan, apalagi jikalau masih memiliki "kemelekatan dengan dunia" yang kuat.
Memang ini kurang baik dituliskan di sini, karena seolah dijadikan pembenaran, namun pada dasarnya, tiap manusia memang tempatnya salah sih. Hal yang biasanya susah diterima oleh perasaan, bahkan meski akal-pikiran sudah cukup bisa menerima duluan.
Tetapi memang pada akhirnya, wisteria itu hanya indah untuk dipandangi dari kejauhan dan dikenang keindahannya, jangan didekati, karena ia beracun.
29 Agustus 2023