Minggu, 15 November 2015

Resensi Novel: 9 Matahari

Hai. Saya akan posting lagi. Kali ini posting tugas yang sesungguhnya, yaitu tugas Ilmu Budaya Dasar yang kedua, membuat resensi novel.

Hmm... waktu masih sekolah saya telah beberapa kali membuat resensi novel. Namun, dahulu novel yang boleh diresensikan bebas. Dulu saya memilih novel horor untuk diresensi.

Tetapi sekarang, kategori novel yang bisa digunakan untuk tugas resensi tidak bebas. Ditentukan oleh dosen, bahwa novel yang dipilih haruslah novel yang memiliki pesan moral. Dan tidak diperkenankan meresensi novel remaja atau picisan.

Karena persyaratan tersebut, akhirnya saya memilih novel ini untuk diresensi,


9 Matahari karya Adenita.
Novel lama sih, saya aja pertama kali baca waktu SD.
.


Data buku

a. Judul buku : 9 Matahari
b. Pengarang : Yuli Anita  (Adenita)
c. Penerbit beserta edisi cetakan : PT Gramedia Widiasarana Indonesia Jakarta
  -Cetakan pertama : November 2008
  -Cetakan kedua : Desember 2008
d. Tahun terbit : 2008
e. Tebal buku (jumlah halaman) : ix + 362


Sinopsis

Novel ini menceritakan perjuangan seorang gadis bernama Matari Anas ketika menjalani kehidupan, terutama pada masa perkuliahan. Banyak kesulitan yang dihadapinya.

Alur dalam novel ini campuran. Namun saya lebih suka menjelaskannya dengan alur maju.Matari hidup dengan latar belakang kedua orangtua yang berbeda suku. Ayahnya berasal dari Deli Serdang, Sumatera Utara, sehingga ia memiliki sifat-sifat khas orang Sumut yang keras, bicaranya pun keras dan cepat pula, serta bersemangat. 

Sedangkan ibunya, yang merupakan seorang wanita keturunan Sunda, yang dikatakan masih termasuk keturunan ningrat adalah seorang wanita yang lemah lembut, santun, tutur katanya halus, baik hati, penyayang dan pengalah. Amat berkebalikan, Namun perbedaan tak menghalangi mereka untuk bersatu.

Selain Matari, mereka punya seorang putri lagi, kakak perempuan Matari, namanya Hera. Hera diceritakan sebagai sosok yang pendiam, rajin, serius dan agak dingin, tidak sehangat Matari. Tetapi, Hera adalah kakak yang sangat baik. Bahkan awalnya, karena bantuan Hera-lah Matari bisa kuliah.

Awalnya, mereka adalah keluarga yang damai dan harmonis. Ayah Matari adalah lulusan sebuah STM di Deli Serdang, yang lalu merantau dan akhirnya menjadi seorang mekanik di pabrik kertas.

Sejak dulu ayah Matari menyukai tanaman, sehingga ia menanam berbagai tanaman di pekarangan dan bahkan mulai berbisnis cabai bersama rekannya.

Sialnya, pada saat masa-masa krisis moneter, disaat harga cabai melonjak, panen cabai milik ayah.Matari justru gagal. Maka, mulailah masalah keuangan menerpa keluarga mereka. Hingga masalah tersebut menyeret keluarga mereka kepada masalah yang lebih besar dan rumit selama beberapa tahun ke depannya. Hilanglah kedamaian dalam keluarga mereka, digantikan oleh pertengkaran sebagai makanan sehari-hari. Ayahnya berubah menjadi seorang yang pemarah dan kasar, ia bisa marah-marah tiap hari. Sasaran kemarahannya ialah istri dan anak-anaknya.

Selain itu, pikiran mereka masih ditambahi oleh berbagai hutang yang menjerat. Apalagi semenjak ayah memutuskan untuk pensiun dini agar pesangonnya bisa digunakan untu modal bisnis baru (ayah Matari kecanduan bisnis namun tidak punya keahlian). Akibatnya, sekeluarga menjadi stress.

Hal tersebut membuat Matari berpikir (ketika sudah mulai besar) bahwa: IA HARUS KULIAH. Matari berpikir, kuliah bisa menyelesaikan berbagai masalah. Yang pertama, melalui kuliah, ia bisa menyalurkan hasratnya yang tinggi terhadap pendidikan. Kedua, ia bisa mengasah kemampuannya untuk menjadi manusia berkualitas. Ketiga, jika ia telah menjadi manusia yang berkualitas, keberadaannya akan bisa berarti bagi orang banyak, ia bisa jadi orang yang bermanfaat untuk orang lain. Selain itu, Matari yakin ia pasti akan bisa mengangkat derajat keluarganya. Ia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak setelah menjadi sarjana nanti.

Ada alasan lain pula mengapa Matari ingin kuliah. Sejak kecil ia ingin kuliah di Bandung, ia merasa Bandung lebih tenang daripada Jakarta. Selain itu Matari merasa bahwa akan lebih melegakan jika ia jauh dari rumahnya yang memiliki “atmosfer buruk” tersebut.

Akhirnya, selulus SMA, karena ia tidak lulus UMPTN, Matari ikut program d1 di sebuah politeknik di Bandung. Ia kuliah tentunya masih dengan memiliki masalah finansial. Namun, ada tantenya yang bisa membantu masalah keuangannya, meskipun ujung-ujungnya terbongkar suatu hal yang mestinya tak diketahui.

Kemudian setelah lulus, Matari sempat bekerja, masih di wilayah Bandung (karena ia masih enggan pulang ke rumah). Tetapi semangatnya untuk kuliah yang sesungguhnya masih tetap tertanam dalam dada. Hingga akhirnya, tahun depannya, Matari berhasil diterima di Jurusan Komunikasi, Universitas Panaitan program ekstensi.

Peluang seperti itu tentunya tidak disia-siakan oleh Matari. Ia pasti akan mengambil kesempatan itu, kesempatan terakhirnya berkuliah, karena batasan masa berlaku ijazah yang hanya 3 tahun. Masalahnya, lagi-lagi kondisi finansial keluarga yang kian hari kian memburuk.

Hingga kemudian Matari mengambil suatu keputusan, ia berhutang kepada teman ayahnya, dengan dibantu kakaknya, Hera, tanpa sepengetahuan ayah mereka. Bahkan ia kuliah lagi pun ayahnya tak tahu. Karena ayahnya akan menentang itu. Menurutnya, Matari kuliah disaat keluarga sedang krisis ekonomi adalah suatu hal yang tak tahu diri. Seharusnya ia membantu perekonomian keluarga dengan bekerja, bukan malah menghamburkan uang untuk kuliah.

Keluarga besarnya pun banyak yang menentang harapannya untuk kuliah. Mereka sering membicarakan dan mencibir Matari sebagai anak tak tahu diri. Namun semangat Matari tak kunjung pudar. Tekadnya tetap bulat, ia harus kuliah. Ia akan buktikan pada orang-orang yang menentangnya bahwa ia akan sukses lewat kuliah.

Telah mendapatkan biaya kuliah untuk semester awal, Matari akhirnya bisa kuliah. Namun masalah tak hanya sampai disana. Untuk makan sehari-hari, ongkos pulang pergi ke kampus, bayar kos, untuk pembayaran biaya kuliah di semester-semester selanjutnya, dan untuk berbagai hal lainnya, Matari butuh uang. Ia pun berjuang mencari uang dengan berhutang pada teman-temannya dan bekerja.

Matari mendapatkan pekerjaan sebagai penyiar radio. Lumayan hasilnya, namun ia harus benar-benar membagi waktu. Dan disana pun ia mendapat masalah lain, ia mengalami culture shock. Matari kaget dengan kesenjangan antara kehidupannya sendiri dengan penyiar-penyiar lainnya. Gaya hidup mereka amat berbeda, gaya hidup kelas atas.

Selain itu, masih ada berbagai masalah lain yang dialami Matari, sepertinya misalnya, ketika ia pulang ke rumah saat liburan. Bukannya melepas rindu dengan bahagia, ia malah mengetahui masalah baru yang ada di rumahnya. Bukan hanya itu, Matari juga bertemu dengan ayahnya yang malah mencacinya dan menyuruhnya segera berhenti kuliah. Tentu saja Matari menolaknya.

Kemudian, hutang Matari juga mulai ditagih oleh kawan-kawannya sekaligus, padahal ia benar-benar tak punya uang. Matari sampai sempat menghindari teman-temannya karena tak siap bertemu mereka dengan hutang yang masih ia bawa.

Berbagai masalah yang tak kunjung usai membuat Matari hampir “sakit”. Ia mulai bertingkah aneh, seperti menyakiti diri sendiri dan berbicara sendiri karena beban pikiran dan masalah hidupnya sejak dulu sudah tak tertahankan.

Beruntungnya, Matari punya sahabat yang baik bernama Sansan. Sansan dan keluarganya yang membantu memulihkan Matari seperti semula. Mereka mengajarkan Matari untuk ikhlas berdamai dengan seluruh masa lalunya, dan menerima masa lalunya dengan lapang dada. Kemudian mereka juga membantu Matari menghilangkan pikiran-pikiran negatif dalam benaknya supaya hidupnya jadi lebih ringan.

Setelah merasa lebih baik, kemudian Matari menenangkan diri dengan cuti kuliah selama 3 semester dan melakukan berbagai kegiatan, diantaranya bergabung dengan kegiatan menulis dan bergabung dengan kegiatan CTV (Campus TV). Selama masa istirahatnya, Matari pun berkenalan dengan orang-orang baru.

Pada akhirnya, perkenalan dengan orang-orang baru tersebut mempertemukan Matari dengan seseorang yang bisa membantu masalah finansialnya, sehingga Matari bisa melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda. Bahkan ia pun merasa menemukan sebuah keluarga baru yang selama ini ia idam-idamkan.


Masih ada beberapa kisah lainnya, karena kehidupan terus berjalan dan pengalaman terus bertambah. Tetapi terlihat bahwa kehidupan Matari perlahan-lahan membaik, karena pikirannya sudah lebih positif. Hingga akhirnya, MATARI LULUS KULIAH.



Kelebihan:

-Cover menarik, komentar pembaca di cover bagian belakang sangat positif. Artinya, buku ini dianggap baik oleh kebanyakan pembacanya.
-Banyak mengandung pesan moral. Pertama, dari buku ini, saya menjadi bersyukur bisa hidup tanpa mengalami banyak kesulitan seperti Matari. Hidup saya benar-benar jauh lebih beruntung. Keluarga saya cukup harmonis dan saya bisa kuliah tanpa terlalu banyak kesulitan.
-Kedua, mengajarkan bahwa pengalaman akan membantu menggali potensi dan mengembangkan berbagai kemampuan.
-Ketiga, mengajarkan bahwa tidak ada proses yang instan, hidup penuh perjuangan.
-Keempat, mengajarkan bahwa ikhlas, sabar dan berpikiran positif akan membuat langkah kita menjadi lebih ringan.
-Kelima, mengajarkan bahwa pergaulan yang luas amat bermanfaat untuk kehidupan manusia.


Kekurangan:

-Penyampaian cerita kurang menarik di bagian tengah menuju akhir.
-Cerita kurang greget.
-Ada bagian yang tidak begitu penting dalam cerita, sehingga malah membuat bosan.

***

Nah, itu dia resensi saya, maaf jika sinopsisnya kurang bagus. Dan mohon maaf juga jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Sekian dari saya, sampai jumpa di post berikutnya.

1 komentar:

Makasih buat semua yang udah sempat baca sampai akhir :D

Hmm... isi blog ini sebagian copas dan saya sertakan url, sebagian ada yang saya tulis sendiri. Pengennya sih, kalo misalnya ada yang copas dari sini, url saya disertakan juga :v wkwk

Silakan berkomentar. Oiya, jangan lupa ya, sopan-santun dan saling menghargai itu penting bagi manusia :)