Kali ini, saya akan menyajikan beberapa mitos yang ada di beberapa
daerah di Indonesia.
1. Orang Sunda dan Orang Jawa Dilarang Menikah
Bagi masyarakat Suku Sunda dan Suku Jawa tentu tahu mengenai mitos ini.
Asal mula adanya mitos ini ada kaitannya dengan sejarah di masa yang telah
teramat lampau. Meski tak ada literatur penyebab pasti asal usul
diharamkannya perkawinan itu, namun dipercaya hal tersebut berasal dari
peristiwa Perang Bubat.
Rencana Pernikahan
Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka
Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri
tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh
seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging
Prabangkara.
Menurut catatan sejarah Pajajaran oleh Saleh
Danasasmita serta Naskah Perang Bubat oleh Yoseph Iskandar, niat pernikahan itu
adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit dianggap
keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan
suaminya yaitu Rakeyan
Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajya
Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula
dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut
dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah
nama laki-laki.
Alasan umum yang dapat diterima adalah Hayam Wuruk
memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu
untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas
restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat
kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara
pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan
Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora
Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada
pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaanbahwa hal tersebut adalah jebakan
diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, di antaranya
dengan cara menguasaiKerajaan Dompu di Nusa
Tenggara.
Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke
Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua
negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan
diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Kesalahpahaman
Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan
putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana,
timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin
memenuhi Sumpah Palapa yang
dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai
kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda
lah yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan
oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat
adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada
mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi
sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas
Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang] atas
permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan
Majapahit pada saat itu.
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan
Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini di akhiri dengan dimaki-makinya
Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya
untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena
undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah
Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan
mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi
mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan
itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan
pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal
kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri
kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya
Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan
Sunda. Raja Sunda beserta segenap pejabat kerajaan Sunda dapat didatangkan di
Majapahit dan binasa di lapangan Bubat.
Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan
hati berduka melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela
kehormatan bangsa dan negaranya. Tindakan ini mungkin diikuti oleh segenap
perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi.
Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatriya, tindakan bunuh
diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya
telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk
melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena
pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.
Akibat
Tradisi menyebutkan bahwa Hayam Wuruk meratapi
kematian Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan
utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk
menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk
menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang
menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua
peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali
dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya. Raja
Hayam Wuruk kemudian menikahi sepupunya sendiri, Paduka Sori.
Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan
tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah
Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat
dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Ia
dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan
perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri. Peristiwa yang penuh
kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada, karena kemudian
Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo). Meskipun tindakan ini tampak
sebagai penganugerahan, tindakan ini dapat ditafsirkan sebagai anjuran halus
agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun, karena tanah ini letaknya
jauh dari ibu kota Majapahit sehingga Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari
politik kenegaraan istana Majapahit. Meskipun demikian, menurut Negarakertagama
Gajah Mada masih disebutkan nama dan jabatannya, sehingga ditafsirkan Gajah Mada
sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai akhir hayatnya (1364).
Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua
negara dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan Sunda-Majapahit
tidak pernah pulih seperti sediakala. Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri Pitaloka
yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi
keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi satu-satunya
keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu
Niskalawastu Kancana. Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik
dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan
antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri
Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran, yang
isinya di antaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda,
atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit.
Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda
untuk menikahi orang Jawa.
(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bubat)
2. Legenda
Cindaku (Jambi)
Seteleh mengulas mitos dari Pulau Jawa, sekarang giliran mitos dari Pulau Sumatera. Di salah provinsi di Pulau Sumatera, yaitu Jambi terdapat sebuah legenda, yaitu legenda manusia harimau yang disebut cindaku.
Cindaku
bagi masyarakat Kerinci, Jambi merupakan sebuah perwujudan manusia harimau.
Cindaku sering digambarkan sebagai sosok manusia yang bisa berubah wujud
menjadi setengah manusia dan setengah harimau. Menurut legenda, cindaku
merupakan sebuah ilmu batin yang dipercaya sebagai warisan dari nenek moyang
masyarakat kerinci. Konon mereka yang memiliki kemampuan spiritual untuk
berubah menjadi manusia harimau hanyalah mereka yang memiliki darah murni dan
memiliki bakat spiritual. Namun menurut legendanya, mereka hanya bisa berubah
jika berada di tanah kelahirannya sendiri dan ketika dadanya bersentuhan dengan
tanah. Sekilas legenda ini mirip seperti sebuah ilmu gaib, namun bagi warga
Kerinci legenda tersebut sebenarnya bukan seperti ilmu hitam yang dipergunakan
untuk mempertahankan diri. Tapi cindaku merupakan sebuah ilmu yang diturukan
untuk menjaga batas hidup antara manusia dan harimau.
Legenda
manusia harimau dari tanah Kerinci ini bermula dari kisah legenda nenek moyang
yang dikenal dengan nama Tingkas. Menurut kisah legenda dari warga Kerinci
Tingkas merupakan nenek moyang mereka yang menjalin hubungan dengan harimau
untuk menjaga batasan antara manusia dan harimau. Konon hubungan tersebutlah
yang selama ini membuat mereka bisa hidup berdampingan dengan harimau. Cindaku
dipercaya berperan penting untuk menjaga hubungan itu, jika ada yang berani
melanggarnya maka mereka harus berhadapan dengan kematian.
Seperti
yang kita ketahui selama ini konservasi tentang hewan langka harimau memang
selalu menjadi masalah yang belum terpecahkan meski tidak sedikit menelan
korban jiwa. Hal tersebut pun diperkuat dari penuturan para sesepuh yang
percaya bahwa insiden antara manusia dan harimau disebabkan karena banyak pihak
yang telah melanggar perjanjian nenek moyang mereka Tingkas yang telah dijalin
selama berabad-abad.
Berdasarkan
legenda yang dikisahkan oleh salah seorang pemangku adat mengatakan bahwa
memang tidak semua masyarakat Kerinci adalah cindaku, tapi orang-orang
terpilihlah yang bisa memiliki kekuatan cindaku. Namun, sekali lagi ia
menegaskan jika legenda tersebut bukan sebuah ajian untuk memperkuat atau
memperkebal diri mereka, tapi legenda tersebut untuk mengatur batasan hidup
manusia dan warga kerinci. Bahkan menurutnya, mereka yang memiliki ilmu legendaris
tersebut juga tidak bisa menggunakannya dengan kemauan mereka, mereka baru bisa
berubah menjadi manusia harimau jika ada orang yang berani melanggar perjanjian
mereka.
(Sumber: http://segiempat.com/aneh-unik/mistis/legenda-cindaku/)
3. Leak
(Bali)
Selanjutnya ada mitos dari
Pulau Bali yaitu Leak. Leak tentunya telah cukup dikenal oleh masyarakat
Indonesia, terutama bagi penggemar cerita-cerita horror dan mistis Indonesia.
Leak sering digambarkan sebagai sosok kepala dengan isi tubuh yang melayang, namun
badan, tangan dan kakinya tidak ada.
Dalam mitologi Bali, Leak adalah
penyihir jahat. Le artinya penyihir dan ak artinya jahat. Leak hanya bisa dilihat di malam hari oleh
para dukun pemburu leak. Di siang hari ia tampak
seperti manusia biasa,
sedangkan pada malam hari ia berada di kuburan untuk
mencari organ-organ dalam tubuh manusia yang digunakannya untuk membuat ramuan
sihir. Ramuan sihir itu dapat mengubah bentuk leak menjadi seekor harimau, kera, babi atau menjadi seperti Rangda. Bila perlu ia juga dapat mengambil organ dari orang
hidup.
Leak di Bali kerap
diidentikkan dengan perilaku jahat para penganut ajaran kiri atau pengiwa yakni
berupa kepala manusia
dengan organ-organ yang masih menggantung di kepala tersebut. Leak dikatakan
dapat terbang untuk mencari wanita hamil, untuk kemudian menghisap darah bayi yang masih di kandungan. Ada tiga leak
yang terkenal. Dua di antaranya perempuan dan
satu laki-laki.
Menurut kepercayaan orang Bali, Leak adalah manusia biasa yang mempraktikkan sihir
jahat dan membutuhkan darah embrio agar
dapat hidup. Dikatakan juga bahwa Leak dapat mengubah diri menjadi babi atau bola api,
sedangkan bentuk Leak yang sesungguhnya memiliki lidah yang panjang dan gigi yang tajam. Beberapa orang mengatakan
bahwa sihir Leak hanya berfungsi dipulau Bali,
sehingga Leak hanya ditemukan di Bali.
Ada seseorang menusuk leher Leak dari
bawah ke arah kepala pada saat kepalanya terpisah dari tubuhnya, maka Leak
tidak dapat bersatu kembali dengan tubuhnya. Jika kepala tersebut terpisah pada
jangka waktu tertentu, maka Leak akan mati.
Topeng berwujud
wajah menakutkan dengan taring mencuat dan lidah menjulur keluar disebut
celuluk yang merupakan leak paling rendah nilainya di Bali.
(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Leak)
4. Pasar
Setan Anjaya (Sulawesi Selatan)
Hehe…. Dari namanya agak lucu dan seru
ya. Tapi ceritanya nggak begitu lucu sih. Pengalaman berada di sekitar Pasar
Setan biasanya dialami oleh pendaki.
Percaya tak percaya, ada mitos pasar setan di tengah hutan Sulawesi
Selatan, tepatnya di antara Gunung Lompo Battang dan Gunung Bawakaraeng. Konon,
siapa yang kemping di sana bakal mendengar keramaian layaknya suasana pasar di
malam hari.
Pasar setan atau biasa dikenal masyarakat setempat dengan nama Pasar
Anjaya sudah terkenal dikalangan para pendaki. Sebenarnya itu adalah suatu
kawasan hutan yang luas dan punya panorama indah. Tapi mitos yang beredar, jadi
bumbu tersendiri untuk pendakian Anda ke sana.
(Sumber: http://travel.detik.com/readfoto/2014/09/12/174400/2685848/1026/1/mitos-pasar-setan-di-tengah-hutan-sulawesi-selatan)
5. Poppo’
(Sulawesi Selatan)
Masih dari Sulawesi Selatan, kali ini
ada mitos tentang makhluk bernama Poppo’.
Poppo’
adalah Manusia Tanpa Badan yang Diyakini ada pada Masyarakat Sulawesi Selatan..
Popo’ Menurut mereka adalah Sosok Manusia tanpa kepala yang menurut masyarakat
banyak berada didaerah sekitar pangkep, Jeneponto atau daerah suku Bugis. Sosok
ini muncul akibat seseorang yang ingin mendapat ilmu untuk cepat kaya, namun
mengalami kesalahan dalam menjalani ritual dan doyan memakan jantung atau hati
dari bayi yang baru lahir.
Beberapa
Fakta Pendukung ini banyak dijumpai di masyarakat Sulawesi Selatan. Mereka pada
umumnya melihat hal tersebut pada waktu malam skitar pukul 11:00-04:00
menjelang azan subuh biasanya mereka berubah kembali kewujud manusia biasa.
Menurut
mereka Pop’po takut pada Bawang merah, merica, dan parang panjang. Masyarakat
sulawesi selatan biasanya membakar dupa berupa kulit bawang putih atau kulit
bawang merah serta mendidihkan air pada saat menjelang kelahiran bayi mereka
untuk menghindari kehadiran dari mahluk ini.
Mereka
juga meyakini poppo sering mengambil rejeki dari rumah yang didatanginya.
sehingga rumah tersebut tidak akan pernah berkecukupan. Tapi rumah yang
didalamnya sering dibacakan ayat-ayat suci alquran tidak akan pernah didatangi
oleh mahluk ini.
(Sumber:
https://ariellucky.wordpress.com/2008/06/12/poppo-mitos-atau-kenyataan-di-sulawesi-selatan/)
6. Ratu
Junjung Buih
Masyarakat
Kalimantan Selatan dan sekitarnya lekat dengan sosok ini secara turun temurun
meski tidak jelas siapa sebenarnya tokoh yang dimaksud. Menurut hikayat rakyat,
saat Prabu Lambung Mangkurat mencapai suatu titik khusyuk dalam laku tapa
bratanya di Desa Balukung, kecamatan Bakumpai, Kabupaten Barito Kuala, pusaran
air tiba-tiba memunculkan buih-buih mistis yang menghantarkan perempuan ke
permukaan air. Selanjutnya si cantik itu dinamakan Ratu Junjung Buih.
Dalam bukunya " orang-orang terkemuka dalam sejarah Kalimantan " ,
Anggraini Antemas menyebut perempuan ini bernama asli Galuh Cipta Sari yang
lahir di kampung bernama Bangkiling, kabupaten Tabalong sekitar
tahun 1280. Galuh
diasuh oleh orang tua angkat bernama Ning Bangkiling dan memiliki saudara
angkat Indung Sijarang dan Pujung, anak kandung ibu asuhnya. Hanya sebentar di
Bangkiling, Ning kemudian pindah ke pedusunan Balangan di lembah gunung Batu
Piring bersama seluruh anak-anaknya.
Suatu kali Galuh berniat mandi di sungai Balangan, namun sayangnya dia
tergelincir dan jatuh ke air yang sedang deras. Lambung Mangkurat yang sedang
bertapa lantas menemukannya terapung di pusaran air di depannya. Bukan hanya
menolongnya, Lambung Mangkuratpun bahkan menjadikannya penguasa di Kraton Dipa.
Di kemudian hari Ratu Junjung Buih menikah dengan Prabu Surya Ananta dari
Majapahit. Kedua pasangan ini dianggap menurunkan raja-raja besar di Banjar.
Versi lain menyebut bahwa Galuh Cipta Sari sesungguhnya bukan pribumi, tapi
pendatang Majapahit bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini atau Bhre Tanjung
Pura berdasarkan kitab Pararaton. Bhre Tanjungpura ( Bhre Kalimantan )
merupakan anak Bhre Tumapel II dengan istrinya Bhre Lasem V yang berkuasa tahun
1389 - 1427. Bhre Tanjungpura atau Dyah Suragharini atau Galuh Cipta menikah
dengan Bhre Paguhan III namun tidak memiliki keturunan. Hingga kemudian
bercerai dan menikah lagi dengan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah
Wijayakumara.
Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakumara dianggap juga merupakan Raden
Aria Gegombak Janggala Rajasa yang melamar Galuh Cipta ke Kraton Dipa
menggunakan 10 biji intan. Setelah menikah dan tinggal di Banjar, dirinya
dikenal dengan nama Prabu Surya Ananta ( Suryananta). Setelah memiliki tiga orang
putera mereka , ( sekitar tahun 1464 ? ) keduanya berpamitan untuk pulang ke
tempat asalnya di jawa.
Lain lagi dengan cerita yang beredar di masyarakat pesisir Kalimantan. Ratu
Junjung Buih muncul di lautan, menjadi penguasa negara Dipa dan moksa hingga
saat ini. Bagi masyarakat Dayak , Ratu Junjung Buih adalah juga Kameloh Putak
Janjulen Karangan. Agaknya mitos terakhir ini yang banyak mempengaruhi
kearifan lokal laut sekitar Kalimantan. Termasuk salah satunya menyelip dalam
musibah AirAsia QZ 8501.
(Sumber: http://www.infomistika.com/2015/01/sejarah-legenda-mitos-puteri-ratu.html)
7. Danau
Kelimutu (Ende, Flores, NTT)
Gunung Kelimutu
adalah gunung berapi yang terletak di Pulau Flores, Provinsi NTT, Indonesia.
Lokasi gunung ini tepatnya di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende.
Gunung ini memiliki tiga buah danau kawah di puncaknya. Danau ini dikenal
dengan nama Danau Tiga Warna karena memiliki tiga warna yang berbeda, yaitu
merah, biru, dan putih. Walaupun begitu, warna-warna tersebut selalu
berubah-ubah seiring dengan perjalanan waktu.
![]() |
Foto Danau Kelimutu |
Kelimutu
merupakan gabungan kata dari "keli" yang berarti gunung dan kata
"mutu" yang berarti mendidih. Menurut kepercayaan penduduk setempat,
warna-warna pada danau Kelimutu memiliki arti masing-masing dan memiliki
kekuatan alam yang sangat dahsyat.
Danau atau Tiwu Kelimutu di bagi atas tiga bagian yang sesuai dengan warna - warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna biru atau "Tiwu Nuwa Muri Koo Fai" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah atau "Tiwu Ata Polo" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Sedangkan danau berwarna putih atau "Tiwu Ata Mbupu" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.
Masyarakat Kecamatan Moni, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur meyakini bakal terjadi bencana besar yang melanda negeri ini. Percaya atau tidak, keresahan itu terkait dengan perubahan warna tiga danau Kelimutu yang terjadi saat ini. Dahulu, tiga danau kebanggaan warga Ende itu masing-masing memancarkan warna berbeda, yakni merah-hijau-biru. Namun saat ini, ketiganya menjadi satu warna: hijau muda.
“Bakal ada bencana yang menelan korban cukup banyak,” kata salah seorang warga Desa Woloara, Kecamatan Kelimutu, yang berumur 56 tahun. Dia mengisahkan, pada akhir 1964 juga terjadi perubahan warna seperti saat ini. Setahun kemudian, malapetaka besar menimpa bangsa Indonesia dengan adanya kemelut Partai Komunis Indonesia. “Setelah peristiwa PKI, warna air Danau Kelimutu kembali normal,” ujar Mbate.
Danau atau Tiwu Kelimutu di bagi atas tiga bagian yang sesuai dengan warna - warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna biru atau "Tiwu Nuwa Muri Koo Fai" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah atau "Tiwu Ata Polo" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Sedangkan danau berwarna putih atau "Tiwu Ata Mbupu" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.
Masyarakat Kecamatan Moni, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur meyakini bakal terjadi bencana besar yang melanda negeri ini. Percaya atau tidak, keresahan itu terkait dengan perubahan warna tiga danau Kelimutu yang terjadi saat ini. Dahulu, tiga danau kebanggaan warga Ende itu masing-masing memancarkan warna berbeda, yakni merah-hijau-biru. Namun saat ini, ketiganya menjadi satu warna: hijau muda.
“Bakal ada bencana yang menelan korban cukup banyak,” kata salah seorang warga Desa Woloara, Kecamatan Kelimutu, yang berumur 56 tahun. Dia mengisahkan, pada akhir 1964 juga terjadi perubahan warna seperti saat ini. Setahun kemudian, malapetaka besar menimpa bangsa Indonesia dengan adanya kemelut Partai Komunis Indonesia. “Setelah peristiwa PKI, warna air Danau Kelimutu kembali normal,” ujar Mbate.
(Sumber:
http://djavalatte.blogspot.co.id/2011/06/mitos-danau-kalimutu-flores.html)