Rabu, 15 Mei 2019

Tes intelegensi: saya sedang 'kepo'

Kebanyakan orang yang penasaran tentang inteligensi berfokus pada skor yang didapat setelah mengerjakan tes.

Sedangkan saya mungkin penasaran karena ingin tahu seberapa berkembang/bergunanya otak saya selama hidup ini, dan seberapa besar potensinya untuk diajak "mikir", lalu di bidang apa cocoknya. 😂😅

Sebenarnya waktu zaman sekolah, sejak SD hingga SMA, saya sudah beberapa kali mengikuti tes intelegensi. Dan skornya tidak ada yang beda terlalu jauh di antara semua tesnya. Namun, karena saya sudah melalui kehidupan perkuliahan dengan cara belajar yang tentu saja berbeda dengan di sekolah (dan juga minat dan semangat belajar saya, serta tingkat kerajinan/ketekunan saya yang berubah), saya jadi penasaran "bagaimana jika saya mengikuti tes intelegensi lagi? Apakah hasilnya masih seperti zaman saya sekolah dulu atau tidak?"

Secara umum, hasil tes inteligensi diperoleh dari usia mental (mental age/MA) dibagi usia kronologis/usia sebenarnya (chronological age/CA) lalu dikalikan dengan jumlah skor soal benar yang diperoleh. Sehingga akan muncul beberapa kategori:
- Jika usia masih muda, namun bisa menyelesaikan permasalahan/problem-problem/soal-soal untuk kategori usia yang lebih tua, maka skornya akan tinggi.
- Jika usia muda dan mampu menyelesaikan permasalahan yang memang sesuai dengan usianya, maka masuk kategori normal. Kategori normal sendiri biasanya terbagi lagi menjadi 3: normal bawah, normal tengah, normal atas.
- Jika usia sudah cukup tua namun hanya bisa menyelesaikan problem-problem untuk usia yang lebih muda, maka skor hasil cenderung rendah.

Dan sebenarnya yang terpenting adalah, dalam sejarah tes intelegensi, awalnya tes-tes ini digunakan untuk mengetahui/mendeteksi orang-orang dengan skor intelegensi dibawah normal, untuk kemudian membantu memaksimalkan potensi yang ada pada diri mereka, walaupun mungkin tidak akan semaksimal orang-orang di kategori normal dan yang lebih tinggi. Sedangkan orang-orang yang sudah masuk kategori normal atau di atasnya, ya sudah, aman. Tinggal manfaatkan saja intelegensi mereka.

Jadi begitulah, sebenarnya nggak begitu penting skor nya berapa. Yang lebih penting adalah, berapapun skornya, apakah sudah dimanfaatkan secara optimal? 😂😅 *ngetik sendiri, kesindir sendiri wkwk

Dan skor bisa saja berubah, mungkin salah satunya jika otak "tidak digunakan". Karena proses belajar dan pengalaman akan berpengaruh pada problem solving juga kan? Lalu pada akhirnya berdampak pula pada skor intelegensi. Wkwkwk 😂😅 *duh aku takut otakku ga guna selama ini (":

Hmm... saya cukupkan saja tulisan ini sampai sini ya. Saya tutup. Terimakasih telah membaca :D

And for bonus, these are some articles about intelligence (edited: silakan copas sendiri ya, ini gatau knp linknya gabisa disambungkan) :

https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/iq-bisa-berubah/

https://www.hipwee.com/feature/iq-tinggi-tak-selalu-berarti-cerdas-luar-biasa-ini-7-fakta-tentang-tes-iq-yang-harus-kamu-tahu/

Jumat, 10 Mei 2019

MBTI dan INFP: saya tidak akan membahas, saya hanya akan bercerita sehabis mengulik

Setelah mempelajari MBTI lebih dalam daripada sebelumnya, setelah paham bahwa ternyata MBTI itu dasarnya justru 8 fungsi kognitif manusia, ga seperti pemahaman saya yang sebelumnya "tersesat", saya jadi makin sadar dan yakin bahwa saya memang seorang INFP.

Sebelumnya, kalo membicarakan penyebab kenapa bisa "tersesat", penyebabnya adalah karena entah gimana ceritanya, tau-tau banyak kuis-kuis/tes-tes kepribadian MBTI online yang beredar, tapi kayak ga berdasar gitu/dasar yang diambil tidak lengkap. Jadi yang orang-orang tau, MBTI tuh gajelas, bahkan ada yang sampai menyamakan levelnya hanya sebatas zodiak -_- wkwkwk. Padahal setelah saya telaah (thanks Quora dan para komentator disana yang membuat saya semangat ngulik :D ) lagi dasar teorinya (walaupun bukan dari sumber langsungnya sih), ternyata... Yaampuuuuunnn beda banget sumpah sama yang selama ini diketahui!

Yah gitu deh pokoknya, saya gamau bahas itunya sih hahaha :v

Yang lebih saya mau bahas adalah INFP. Kenapa? Alasannya sederhana, ya karena tipe saya INFP hahaha.

Sebelumnya lagi (kenapa saya harus selalu menjelaskan motif dibalik apa yang saya ceritakan ya? Wkwk) saya bukan orang yang kalo dapat hasil tes apa terus menyama-nyamakan diri dengan hasil tes itu kok. Misalnya gini:

"Wah, saya introvert. Berarti wajar dong saya diam aja?"

"Oalah, saya feeling. Yaudah, berarti gapapalah kalo saya ngikutin perasaan. Lagi gamau ngapa-ngapain nih."

"Eh kan saya perceiving, wajar lah kalo ga teratur, hahaha..."

Nggak, nggak. Saya bukan tipe orang yang seperti itu. Kalo menurut saya malah:

"Hasil tes kepribadian itu menggambarkan dirimu seperti apa, jadi itu tergantung dari kamunya. Harusnya kamu bukan membentuk diri dari hasil tes kepribadian, tapi hasil tes kepribadian yang terbentuk dari kamu. Jadi wajar juga kalo misalnya kamu mengalami perubahan diri, terus hasil tesnya berubah. Karena yaaa... emang harusnya seperti itu kan? Hasil tes hanya menggambarkan dirimu. Kalo hasil tes berubah, mungkin kamu emang ada perubahan, belum tentu hasil tesnya yang salah." Wkwkwk.

Terus ya, hasil tes itu harusnya dijadikan acuan untuk lebih baik. Mempertahankan kelebihan dan mengatasi kelemahan, menurut saya. Bisa bermanfaat juga untuk lebih mengenal dan memahami orang lain, lalu memperlakukan mereka dengan tepat.

Hahaha... tapi yaa... emang saya yakin banget saya INFP. Dan kemarinan saya ngulik-ngulik soal MBTI dan INFP. Hasil dari kulikan saya itu menjelaskan kepada saya mengenai berbagai pertanyaan yang menggantung di kepala saya selama ini, entah sejak kapan XD

Saya jadi lebih paham soal ambiversi. Lebih paham juga kenapa ada yang bilang ambiversi itu sebenarnya gaada.

Saya jadi paham kenapa saya dari dulu merasa aneh dan emang sering dianggap aneh. Aneh adalah salah satu kata yang nggak bisa jauh-jauh dari saya wkwkwk. Setelah mengulik INFP, saya makin sadar, bahwa emang INFP itu aneh (": INFP emang bukan tipe kepribadian terlangka di dunia, tapi menurut tuturan seorang komentator di Quora, sepertinya dunia ini memang tidak didesain untuk INFP (": INFP dan saudaranya(?) si INTP adalah kaum-kaum yang harus "berjuang" hanya untuk sekedar hidup di dunia ini, katanya. Karena dunia ini lebih cocok dan dikendalikan orang-orang bertipe SJ wkwkwk

Sad, but i believe it (": ya gimana, soalnya saya emang ngerasa itu fakta wkwkwk. Tapi yaudahlah, mau gimana lagi? Dijalani saja, seperti biasa. Toh selama ini bisa. Hahaha (":

Saya juga jadi doyan nyari-nyari blog sesama INFP yang menuliskan tentang ke-INFP-an mereka. Dari situ, dari hampir semua yang saya baca, saya paham banget perasaan mereka, walaupun pengalaman saya sama mereka mungkin ga sama persis. Setelah membaca tulisan-tulisan mereka, saya merasa...

"Ah, gila! Itu kayak gue sih!" atau... "Aaaahhhh SAMA!" atau... "Ah gue juga gini nih."

"AH PAHAM. Walaupun ga ngalamin, tapi udah gue duga ada kemungkinan seperti itu. Ternyata ada yang ngalamin beneran."

"Aaahhh sedih :( jadi flashback."

"Wah gila, dia lebih INFP daripada gue."

"Hmm... gue INFP bukan sih? Kok nggak segininya amat. Tapi paham sih, paham mah paham. Gue kalo jadi dia juga kayaknya bakal gini sih, ga beda jauh. Yah, namanya juga prinsip." Yeah, principe is number one for INFP. :v

"Tidak terlalu suka kata-kata, lebih suka menunjukkan langsung dengan perbuatan. Kata-kata lebih mirip basa-basi bagi INFP." NAH INI! Gue banget! Tapi... cuma dalam hal-hal tertentu dan orang-orang tertentu yah, ga semua orang hahaha :v

Ada tulisan orang yang saya baca, intinya sepemikiran sama saya. Kami sering lelah dengan dunia ini, yang entah kenapa gabisa baik-baik aja. Banyak orang gasuka gosip, gasuka drama, karena itu adalah salah satu sumber masalah, semua tau itu. Anehnya, hal itu tetap dilakuin sama orang-orang. Anehnya lagi, malah kami yang dianggap aneh karena gamau melakukan itu. Aneh kan? :"v

"Wahahahahaha... ternyata gue ga aneh sendirian!" XD ujarku sehabis membaca tulisan orang yang lain lagi.

"Aaahh jadi pengen ketemu yang nulis." Ingin berkawan dan berbincang (":

"TAU BANGET! Tau banget rasanya pura-pura jadi normal! Ga enak. Karena normalnya kita = aneh buat orang lain. Jadi kalo kita pura-pura normal berarti rasanya....."

"Iya banget ini! Ingin bersosialisasi, tapi kok... ga cocok ya? Saya ga cocok, mereka juga kayaknya ga nyaman dengan saya yang apa adanya. Oke, pilihannya dua. Jadi diri sendiri dan ga bersosialisasi, atau bersosialisasi dengan topeng?" ujarku sambil membaca tulisan orang. Dia lebih memilih pilihan kedua rupanya. Sedangkan aku, cenderung ke pilihan pertama. Gamau capek soalnya. :p

"Dewasa, bijak, sekaligus childish dan egois?" Iya, saya ngerasa gitu juga. Tapi kayaknya sudah cukup bisa dikendalikan. Saya memunculkan sisi-sisi itu tergantung sedang bersama siapa, dan kondisi mood saya sih. Hahaha. :v

"Ribet emang, pengen fokus sekaligus melamun. Gausah ditanya siapa yang bisa kayak gini, INFP jagoannya!" Wkwkwk.

"Ingin dimengerti tapi tak ingin membuka diri. Ga pengen pertahanan ditembus orang lain, tapi berharap ada yang bisa dobrak pintu hati." Emang INFP dah, ribet. XD

"Bisa memikirkan banyak hal dari berbagai sudut pandang dan berbagai versi. Saking banyaknya, bisa sampai kebingungan sendiri." Emmm... yah. Iya sih. Tapi kalo soal sampe bikin bingung, nggak terlalu sih, walaupun kadang iya. Mungkin saya udah terbiasa dengan semua ini, jadi udah ga terlalu bingung lagi XD

"Sering merasa kesepian di mana aja dan kapan saja, karena rasanya nggak ada orang yang benar-benar bisa "terkoneksi" denganku." Kayaknya banyak juga INFP yang berpikir sama kayak gini.

"Gaada yang benar-benar bisa memahami diriku." Ya pada akhirnya, pasti bakal mikir ke sini sih. Dan itu adalah salah satu alasan saya belajar komunikasi dan berbicara lebih mahir, supaya bisa menyampaikan apa yang saya mau. Tapi kayaknya nggak ngaruh deh. Lha wong karepku ki dingerteni, udu nyampekke dewe wkwkwk

"Daydreaming is my life. Bisa baper sendiri karena khayalan sendiri. Bahkan khayalan hampir sama pentingnya sama dunia nyata." Yeay :D

"Salah satu alasanku berkhayal adalah karena susah menemukan orang yang seperti mauku di dunia nyata." Oh yes, it's really me wkwkwk.

"Benci berurusan dengan data." Oh... iya. Dan ini adalah suatu bencana bagi mahasiswa macam saya. Akhirnya saya tau saya kenapa. (":

dan lain-lain semacamnya.

Yah, gitu-gitu pokoknya. Tapi saya bahagia dan terharu habis baca blog orang lain, karena ternyata emang ada yang senasib kok sama saya. :"D

Saya sendiri ingin menuliskan cerita versi saya sebagai seorang INFP, tapi belum sempat. Mungkin kapan-kapan ya. Mungkin hahaha.

Tapi sumpah, pengen. Pengen banget. Buat meramaikan tulisan mengenai INFP, sekaligus ngasih tau kalo: "Hai kawan-kawan sesama INFP, aku juga ada di sini, tolong rangkul aku, aku ingin bergabung dalam squad. Aku bosan sendirian, nggak ada yang sama." XD

Selasa, 07 Mei 2019

DUDU (bukan dududu ya)

Dari: Saya
Untuk: Siapapun yang menginginkan cinta saya, mungkin suatu hari nanti akan ada.

Jika kau ingin berubah, berubahlah bukan demi diriku, namun berubahlah demi dirimu sendiri. Atau lebih mulia lagi, berubahlah demi Tuhanmu, Sang Maha Pencipta. Jadilah versi terbaik dari dirimu, dan biarkan aku jatuh cinta padamu apa adanya. Biarkan aku luluh, bukan karena perubahanmu, namun karena kesadaranmu atas alasan mengapa kamu harus berubah. Esensi, jauh lebih penting daripada sekedar perubahan. Karena berubah itu mudah, namun jika tak paham esensinya, sulit untuk bertahan. :)

Minggu, 05 Mei 2019

Mengapa Orang Yang Menangis Malah Lebih Kuat daripada Orang yang Tidak Bisa Menangis?

Mengapa orang yang menangis malah lebih kuat daripada orang yang tidak bisa menangis?

Pernah terbersit pertanyaan tersebut di kepala? Jika pernah, anda seperti saya yang dulu.

Dulu, saya juga bertanya-tanya mengenai hal tersebut. Saya sangat heran dan penasaran, kenapa bisa? Karena kebetulan, sejak kecil saya hidup di lingkungan yang mengajarkan "Jangan nangis, jangan cengeng." Sehingga menurut saya, justru orang yang menangis itu lebih lemah. Dan saya pun tumbuh dengan pemikiran tersebut, lalu menjadi sesosok yang jarang sekali menangis. Bisa jadi, saya menangis hanya setahun sekali, bahkan mungkin saja saya tidak menangis sepanjang tahun. Padahal saya adalah perempuan.

Sepertinya, hati saya terlihat gersang sekali ya? Saya terlihat seperti manusia tidak punya perasaan. Apakah saya tidak normal? Tidak juga. Saya bisa merasakan berbagai perasaan, termasuk sedih. Namun, meski sedih, saya sangat jarang sekali sampai meneteskan air mata. Jikalau kesedihan tersebut cukup kuat, hingga saya rasa saya bisa meneteskan air mata, saya hampir bisa selalu menahannya. Saya hanya menangis jika emosi yang saya rasakan benar-benar kuat.

Ketika saya menangis (yang mungkin hanya terjadi setahun sekali itu), saya rasa itu hanya karena saya tidak sengaja menumpahkan semua "beban" yang sudah tertampung sekian lama. Ya, saya tidak salah sebut, saya tidak sengaja melakukan itu. Karena kesadaran saya tentunya akan mencegah saya menangis, karena saya tidak boleh cengeng. Saya tidak boleh lemah. Saya tidak mau lemah! Jika tidak sengaja menangis, berarti berbagai emosi yang tertumpuk di dalam jiwa saya telah menjadi kuat, hingga bisa mendorong saya meneteskan air mata.

Meski demikian, saya tidak "membenci" orang-orang yang bisa menangis dengan mudahnya. Bahkan saya juga tidak "membenci" laki-laki yang menangis, asalkan dia masih tau tempat dan waktu menangis ya. Saya hanya merasa saya berbeda saja, dan tidak ingin menjadi seperti mereka. Namun, tidak masalah jika orang lain berbeda dengan saya. Bukankah terkadang perbedaan itu indah? Hanya saja, saya kadang kebingungan sendiri dengan situasi yang berhubungan dengan tangisan.

"Duh, kalau ada orang nangis, gue harus apa?" (Ujung-ujungnya pasang muka flat dan diam aja, padahal dalam kepala rusuh karena kebingungan)

"Kalau ada hal yang sama yang bisa bikin orang-orang pada nangis, bahkan cowok pun bisa nangis, sedangkan gue ga nangis, kira-kira orang bakal mikir apa ya ke gue? Apakah gue akan dikira cewek strong, atau justru cewek yang gapunya hati? Atau malah... cewek lemah? ._. Kan ada yang bilang, kalo gabisa nangis itu malah lemah. Sebenarnya hal ini agak sedih sih, cuma bukan sedih yang levelnya bisa bikin gue nangis. Apalagi kalo nangis di tempat umum gitu, mana bisa coba gue nangis?"

Dan yang paling bikin saya gabisa nangis, malah bikin saya muak, adalah acara-acara motivasi ataupun masa orientasi, dimana hampir di tiap sesi akhir selalu ada settingan untuk tangis-tangisan -_- jadi para peserta nantinya akan disuruh menutup mata, lalu orang yang berperan sebagai pembicara akan membacakan alur cerita sedih, yang hampir di tiap acara pasti mengingatkan pada orangtua. Bayangkan pas kamu pulang hari ini, tiba-tiba melihat bendera kuning di rumah. Hatimu bertanya-tanya... blablabla. Pokoknya tau-tau intinya orangtuamu yang meninggal. Terus gimana menyesalnya kamu karena belum sempat membahagiakan orangtua lah, apa lah.

Orang-orang pasti hampir semua menangis mendengar itu, terutama wanita. Sedangkan saya, dari awal dengar tidak menangis, karena... saya terlanjur sebal. Soalnya ini disengaja. Ini hanya skenario, ini tidak natural. Saya malah lebih mungkin sedih jika diajak menonton sebuah film keluarga, lalu tiba-tiba ada adegan orangtua meninggal, daripada sebelumnya sudah dengan amat sadar disuruh menutup mata, lalu membayangkan. Jadi saya sudah sadar kalau itu hanya bayangan. Saya tidak bisa meresapi ceritanya. Itu kalau saya, namun tidak begitu dengan orang lain. Dan makin sering menghadapi sesi tangis-tangisan, makin tidak menangis lah saya, yang ada malah makin sebal. Karena skenarionya itu-itu saja! Tidak pernah ada perubahan.

Jadinya saya selalu pulang dengan mata kering, dan juga hati kering, seolah tak terjadi apapun. Ya soalnya ketauan banget settingan, saya bukannya meresapi, malah jadi sebal. Apa nggak ada cara lain yang lebih kreatif biar pesan moralnya sampai gitu? Terus, faedahnya apa sih nangis-nangisan gitu? Melegakan hati? Memotivasi biar berubah jadi lebih baik demi membahagiakan orangtua? Ah, baguslah kalo berhasil di orang lain, kalo saya yang digituin malah jadi gondok! -_-

Terus yaa... saya juga malah jadi bertanya-tanya: "Kalo ada peserta yang ikut tangis-tangisan ini, dan ternyata udah yatim, atau malah yatim piatu, gimana? Gimana kalo malah mengorek-ngorek luka lama dia? Gimana kalo dia jadi sedih lagi? Kalo peserta lain yang orangtuanya masih ada, enak. Begitu membuka mata kembali, setelah sebelumnya bersedih, mereka nantinya bisa pulang, lalu berjumpa dengan orangtuanya. Tapi gimana dengan yang sudah tidak punya orangtua? Gimana? Gimana kalo hanya kesedihan saja yang tersisa di diri mereka? Gimana cara menghibur mereka lagi? Yakin mereka akan termotivasi dengan cara ini?"

Saya juga berpikir: "Terus kalo anak yang yatim piatu sejak lahir, atau broken home, atau entahlah gimana ceritanya pokoknya dia nggak/kurang merasakan figur orangtua, gimana? Apakah tangis-tangisan ini akan efektif buat mereka? Kok saya bayanginnya bisa jadi mereka malah flat ya? Lah, wong saya aja yang punya orangtua, sebenarnya bisa membayangkan, tapi karena gasuka settingan jadi ga sedih kok, apalagi mereka yang emang gapunya figur itu? Kalo malah ada yang jadi sebel karena mikir: "Ngapain sih elah bahas-bahas orangtua, gue aja gapunya orangtua kayak kalian!" Gimana?"

Wkwkwk. Malah kebanyakan mikir aneh-aneh saya gara-gara sesi tangis-tangisan di acara motivasi. Ya... begitulah saya.

Karena selama ini saya hidup sebagai manusia yang seperti itu, dengan pola pikir begitu, makanya saya tidak percaya dengan pertanyaan yang telah saya ajukan sebelumnya. Sehingga saya berusaha mencari jawaban dari pertanyaan itu. Mengapa? Mengapa demikian? Saya ingin tahu. Saya harus tahu.

Selama saya berusaha mencari jawabannya, saya belum menemukan jawaban yang sanggup memuaskan saya. Namun suatu hari, pengalaman saya dengan sendirinya memberikan saya jawaban. Hingga akhirnya saya paham.

Dan ternyata, itu bukan tipe jawaban yang bisa dijabarkan terlalu logis (atau mungkin saya yang terlalu bodoh sehingga tidak bisa menjabarkannya dengan baik). Yang jelas, ini jawaban yang saya dapat, dan saya cukup paham sekarang dengan pertanyaan ini. Walaupun jawaban ini bersifat subjektif.

Mengapa orang yang menangis malah lebih kuat daripada orang yang tidak bisa menangis?

Sebelumnya, saya ingin menekankan bahwa yang saya maksud menangis di sini bukan asal meneteskan air mata, bahkan hanya karena hal-hal sepele. Namun yang saya maksud adalah menangis yang benar-benar dari hati, ketika segenap jiwamu menangis. Jika hanya asal nangis, apa-apa nangis, kegores jarum aja nangis, ditegasin dikit aja, nangis, liat gebetan ngobrol sama cewek lain aja langsung bisa nangis, padahal baru gebetan loh, ketinggalan hp di rumah nangis, menurut saya itu emang cengeng sih. Walaupun yaa... cengeng manusiawi, tapi tolong lebih dikendalikan hahaha.

Oke, lanjut. Saya ulangi pertanyaannya ya: Mengapa orang yang menangis malah lebih kuat daripada orang yang tidak bisa menangis?

Karena, jika kamu tidak bisa menangis, belum bisa mungkin ya, berarti kamu belum menghadapi hal yang benar-benar berat. Sedangkan orang-orang yang menangis, mereka menangis karena hal berat tersebut. Namun mereka menangis untuk melegakan perasaan, membuang kesedihannya, agar nantinya bisa bangkit lagi. Mereka menangis untuk menjadi lebih kuat. Karena setelah menangis, mereka akan lebih lega, dan bisa memandang permasalahan yang dihadapi dengan pemahaman yang baru. Mungkin setelah pikiran lebih jernih, mereka akan mendapatkan hikmah-hikmah tertentu. Kemudian pemahaman baru tersebut akan membantu mereka menjadi manusia yang lebih baik lagi ke depannya.

Kemudian, karena menangis artinya lebih jujur. Melihat keburukan dan kelemahan diri sendiri sebenarnya cukup mudah, tapi daripada mengakuinya terang-terangan, bukankah sebagian orang lebih senang menyembunyikan keburukan dan kelemahannya? Bukankah yang lebih sering ditampilkan ke permukaan hanya yang bagus saja? Bukankah sebagian orang sering denial/ menolak kenyataan bahwa dirinya punya sisi buruk atau lemah? Dan bukankah... membicarakan kejelekan orang lain atau pun protes, bersama khalayak lain lebih mudah daripada membicarakan kejelekan diri sendiri di hadapan khalayak? Bukankah di hadapan umum kita akan cenderung menyembunyikan keburukan dan kelemahan kita?

Nah... dengan menangis kita bisa jujur. Kalau menangis sendirian berarti jujur kepada diri sendiri. Jujur mengakui bahwa kita memang lemah. Nggak sok kuat lagi, nggak denial lagi. Karena manusia biasa pasti semuanya punya kelemahan. Dan, berani jujur dengan rendah hati mengakui kelemahan diri sendiri itu tidak mudah. Makanya menurut saya itu layak dianggap sebagai suatu kekuatan tersendiri. Kekuatan dari sisi emosional. Karena semua orang punya emosi, tapi tidak semua bisa menyalurkan emosinya dengan cara yang baik.

Dan setelah menyalurkannya, kemudian balik ke statement awal saya, menangis untuk melegakan perasaan, membuang kesedihannya, agar nantinya bisa bangkit lagi. Mereka menangis untuk menjadi lebih kuat, dengan memandang permasalahan yang dihadapi dengan suatu pemahaman baru, dan hal tersebut akan membantu mereka menjadi manusia yang lebih baik lagi ke depannya.

Begitulah jawaban versi saya. Hahaha. Kini, saya pun lebih sering menangis daripada dulu. Karena saya sudah paham bahwa terlalu menahan perasaan itu tidak baik. Mungkin juga karena masalah saya bertambah banyak. Dan juga mungkin perasaan saya lebih berkembang. Hati saya sudah tidak segersang sebelumnya, karena saya lebih membuka hati. Hahaha.

Sekian dari saya. Barangkali ada yang nyasar kesini, semoga tulisan saya ada manfaatnya hahaha.


6 Mei 2019

Sabtu, 04 Mei 2019

Mencoba (2)

Manis, sesuai seleraku
Alangkah seru merangkai akrostik
Nampaknya biasa saja
Istimewa hanya jika ditelaah
Sempurna, memiliki misteri
Nadimku pun terkesima dibuatnya
Yang membuatku makin yakin
Akrostik, aku suka kemanisanmu

*mencoba membuat akrostik (lagi)
Wkwkland, 5 Mei 2019

Mencoba

Aku dan pikiranku umpama
Langit yang terbentang luas
Fabula di dalam diriku
Riang gembira berkelana dengan bebas
Ia adalah perwujudan
Dari andai-andaiku
Andai yang lebih banyak terpendam

Rantai fabula yang tiada pernah putus
Akan kupelihara selalu
Meski dia terpendam
Andai-andaiku takkan bisa diusik
Dia adalah perwujudan
Hati yang sejujurnya jujur
Andaianku perlambang diriku
Nilai-nilai yang dinikmati sendiri, namun terkungkung
Ibarat burung dalam sangkar

*mencoba membuat akrostik
Wkwkland, 5 Mei 2019