Mengapa orang yang menangis malah lebih kuat daripada orang yang tidak bisa menangis?
Pernah terbersit pertanyaan tersebut di kepala? Jika pernah, anda seperti saya yang dulu.
Dulu, saya juga bertanya-tanya mengenai hal tersebut. Saya sangat heran dan penasaran, kenapa bisa? Karena kebetulan, sejak kecil saya hidup di lingkungan yang mengajarkan "Jangan nangis, jangan cengeng." Sehingga menurut saya, justru orang yang menangis itu lebih lemah. Dan saya pun tumbuh dengan pemikiran tersebut, lalu menjadi sesosok yang jarang sekali menangis. Bisa jadi, saya menangis hanya setahun sekali, bahkan mungkin saja saya tidak menangis sepanjang tahun. Padahal saya adalah perempuan.
Sepertinya, hati saya terlihat gersang sekali ya? Saya terlihat seperti manusia tidak punya perasaan. Apakah saya tidak normal? Tidak juga. Saya bisa merasakan berbagai perasaan, termasuk sedih. Namun, meski sedih, saya sangat jarang sekali sampai meneteskan air mata. Jikalau kesedihan tersebut cukup kuat, hingga saya rasa saya bisa meneteskan air mata, saya hampir bisa selalu menahannya. Saya hanya menangis jika emosi yang saya rasakan benar-benar kuat.
Ketika saya menangis (yang mungkin hanya terjadi setahun sekali itu), saya rasa itu hanya karena saya tidak sengaja menumpahkan semua "beban" yang sudah tertampung sekian lama. Ya, saya tidak salah sebut, saya tidak sengaja melakukan itu. Karena kesadaran saya tentunya akan mencegah saya menangis, karena saya tidak boleh cengeng. Saya tidak boleh lemah. Saya tidak mau lemah! Jika tidak sengaja menangis, berarti berbagai emosi yang tertumpuk di dalam jiwa saya telah menjadi kuat, hingga bisa mendorong saya meneteskan air mata.
Meski demikian, saya tidak "membenci" orang-orang yang bisa menangis dengan mudahnya. Bahkan saya juga tidak "membenci" laki-laki yang menangis, asalkan dia masih tau tempat dan waktu menangis ya. Saya hanya merasa saya berbeda saja, dan tidak ingin menjadi seperti mereka. Namun, tidak masalah jika orang lain berbeda dengan saya. Bukankah terkadang perbedaan itu indah? Hanya saja, saya kadang kebingungan sendiri dengan situasi yang berhubungan dengan tangisan.
"Duh, kalau ada orang nangis, gue harus apa?" (Ujung-ujungnya pasang muka flat dan diam aja, padahal dalam kepala rusuh karena kebingungan)
"Kalau ada hal yang sama yang bisa bikin orang-orang pada nangis, bahkan cowok pun bisa nangis, sedangkan gue ga nangis, kira-kira orang bakal mikir apa ya ke gue? Apakah gue akan dikira cewek strong, atau justru cewek yang gapunya hati? Atau malah... cewek lemah? ._. Kan ada yang bilang, kalo gabisa nangis itu malah lemah. Sebenarnya hal ini agak sedih sih, cuma bukan sedih yang levelnya bisa bikin gue nangis. Apalagi kalo nangis di tempat umum gitu, mana bisa coba gue nangis?"
Dan yang paling bikin saya gabisa nangis, malah bikin saya muak, adalah acara-acara motivasi ataupun masa orientasi, dimana hampir di tiap sesi akhir selalu ada settingan untuk tangis-tangisan -_- jadi para peserta nantinya akan disuruh menutup mata, lalu orang yang berperan sebagai pembicara akan membacakan alur cerita sedih, yang hampir di tiap acara pasti mengingatkan pada orangtua. Bayangkan pas kamu pulang hari ini, tiba-tiba melihat bendera kuning di rumah. Hatimu bertanya-tanya... blablabla. Pokoknya tau-tau intinya orangtuamu yang meninggal. Terus gimana menyesalnya kamu karena belum sempat membahagiakan orangtua lah, apa lah.
Orang-orang pasti hampir semua menangis mendengar itu, terutama wanita. Sedangkan saya, dari awal dengar tidak menangis, karena... saya terlanjur sebal. Soalnya ini disengaja. Ini hanya skenario, ini tidak natural. Saya malah lebih mungkin sedih jika diajak menonton sebuah film keluarga, lalu tiba-tiba ada adegan orangtua meninggal, daripada sebelumnya sudah dengan amat sadar disuruh menutup mata, lalu membayangkan. Jadi saya sudah sadar kalau itu hanya bayangan. Saya tidak bisa meresapi ceritanya. Itu kalau saya, namun tidak begitu dengan orang lain. Dan makin sering menghadapi sesi tangis-tangisan, makin tidak menangis lah saya, yang ada malah makin sebal. Karena skenarionya itu-itu saja! Tidak pernah ada perubahan.
Jadinya saya selalu pulang dengan mata kering, dan juga hati kering, seolah tak terjadi apapun. Ya soalnya ketauan banget settingan, saya bukannya meresapi, malah jadi sebal. Apa nggak ada cara lain yang lebih kreatif biar pesan moralnya sampai gitu? Terus, faedahnya apa sih nangis-nangisan gitu? Melegakan hati? Memotivasi biar berubah jadi lebih baik demi membahagiakan orangtua? Ah, baguslah kalo berhasil di orang lain, kalo saya yang digituin malah jadi gondok! -_-
Terus yaa... saya juga malah jadi bertanya-tanya: "Kalo ada peserta yang ikut tangis-tangisan ini, dan ternyata udah yatim, atau malah yatim piatu, gimana? Gimana kalo malah mengorek-ngorek luka lama dia? Gimana kalo dia jadi sedih lagi? Kalo peserta lain yang orangtuanya masih ada, enak. Begitu membuka mata kembali, setelah sebelumnya bersedih, mereka nantinya bisa pulang, lalu berjumpa dengan orangtuanya. Tapi gimana dengan yang sudah tidak punya orangtua? Gimana? Gimana kalo hanya kesedihan saja yang tersisa di diri mereka? Gimana cara menghibur mereka lagi? Yakin mereka akan termotivasi dengan cara ini?"
Saya juga berpikir: "Terus kalo anak yang yatim piatu sejak lahir, atau broken home, atau entahlah gimana ceritanya pokoknya dia nggak/kurang merasakan figur orangtua, gimana? Apakah tangis-tangisan ini akan efektif buat mereka? Kok saya bayanginnya bisa jadi mereka malah flat ya? Lah, wong saya aja yang punya orangtua, sebenarnya bisa membayangkan, tapi karena gasuka settingan jadi ga sedih kok, apalagi mereka yang emang gapunya figur itu? Kalo malah ada yang jadi sebel karena mikir: "Ngapain sih elah bahas-bahas orangtua, gue aja gapunya orangtua kayak kalian!" Gimana?"
Wkwkwk. Malah kebanyakan mikir aneh-aneh saya gara-gara sesi tangis-tangisan di acara motivasi. Ya... begitulah saya.
Karena selama ini saya hidup sebagai manusia yang seperti itu, dengan pola pikir begitu, makanya saya tidak percaya dengan pertanyaan yang telah saya ajukan sebelumnya. Sehingga saya berusaha mencari jawaban dari pertanyaan itu. Mengapa? Mengapa demikian? Saya ingin tahu. Saya harus tahu.
Selama saya berusaha mencari jawabannya, saya belum menemukan jawaban yang sanggup memuaskan saya. Namun suatu hari, pengalaman saya dengan sendirinya memberikan saya jawaban. Hingga akhirnya saya paham.
Dan ternyata, itu bukan tipe jawaban yang bisa dijabarkan terlalu logis (atau mungkin saya yang terlalu bodoh sehingga tidak bisa menjabarkannya dengan baik). Yang jelas, ini jawaban yang saya dapat, dan saya cukup paham sekarang dengan pertanyaan ini. Walaupun jawaban ini bersifat subjektif.
Mengapa orang yang menangis malah lebih kuat daripada orang yang tidak bisa menangis?
Sebelumnya, saya ingin menekankan bahwa yang saya maksud menangis di sini bukan asal meneteskan air mata, bahkan hanya karena hal-hal sepele. Namun yang saya maksud adalah menangis yang benar-benar dari hati, ketika segenap jiwamu menangis. Jika hanya asal nangis, apa-apa nangis, kegores jarum aja nangis, ditegasin dikit aja, nangis, liat gebetan ngobrol sama cewek lain aja langsung bisa nangis, padahal baru gebetan loh, ketinggalan hp di rumah nangis, menurut saya itu emang cengeng sih. Walaupun yaa... cengeng manusiawi, tapi tolong lebih dikendalikan hahaha.
Oke, lanjut. Saya ulangi pertanyaannya ya: Mengapa orang yang menangis malah lebih kuat daripada orang yang tidak bisa menangis?
Karena, jika kamu tidak bisa menangis, belum bisa mungkin ya, berarti kamu belum menghadapi hal yang benar-benar berat. Sedangkan orang-orang yang menangis, mereka menangis karena hal berat tersebut. Namun mereka menangis untuk melegakan perasaan, membuang kesedihannya, agar nantinya bisa bangkit lagi. Mereka menangis untuk menjadi lebih kuat. Karena setelah menangis, mereka akan lebih lega, dan bisa memandang permasalahan yang dihadapi dengan pemahaman yang baru. Mungkin setelah pikiran lebih jernih, mereka akan mendapatkan hikmah-hikmah tertentu. Kemudian pemahaman baru tersebut akan membantu mereka menjadi manusia yang lebih baik lagi ke depannya.
Kemudian, karena menangis artinya lebih jujur. Melihat keburukan dan kelemahan diri sendiri sebenarnya cukup mudah, tapi daripada mengakuinya terang-terangan, bukankah sebagian orang lebih senang menyembunyikan keburukan dan kelemahannya? Bukankah yang lebih sering ditampilkan ke permukaan hanya yang bagus saja? Bukankah sebagian orang sering denial/ menolak kenyataan bahwa dirinya punya sisi buruk atau lemah? Dan bukankah... membicarakan kejelekan orang lain atau pun protes, bersama khalayak lain lebih mudah daripada membicarakan kejelekan diri sendiri di hadapan khalayak? Bukankah di hadapan umum kita akan cenderung menyembunyikan keburukan dan kelemahan kita?
Nah... dengan menangis kita bisa jujur. Kalau menangis sendirian berarti jujur kepada diri sendiri. Jujur mengakui bahwa kita memang lemah. Nggak sok kuat lagi, nggak denial lagi. Karena manusia biasa pasti semuanya punya kelemahan. Dan, berani jujur dengan rendah hati mengakui kelemahan diri sendiri itu tidak mudah. Makanya menurut saya itu layak dianggap sebagai suatu kekuatan tersendiri. Kekuatan dari sisi emosional. Karena semua orang punya emosi, tapi tidak semua bisa menyalurkan emosinya dengan cara yang baik.
Dan setelah menyalurkannya, kemudian balik ke statement awal saya, menangis untuk melegakan perasaan, membuang kesedihannya, agar nantinya bisa bangkit lagi. Mereka menangis untuk menjadi lebih kuat, dengan memandang permasalahan yang dihadapi dengan suatu pemahaman baru, dan hal tersebut akan membantu mereka menjadi manusia yang lebih baik lagi ke depannya.
Begitulah jawaban versi saya. Hahaha. Kini, saya pun lebih sering menangis daripada dulu. Karena saya sudah paham bahwa terlalu menahan perasaan itu tidak baik. Mungkin juga karena masalah saya bertambah banyak. Dan juga mungkin perasaan saya lebih berkembang. Hati saya sudah tidak segersang sebelumnya, karena saya lebih membuka hati. Hahaha.
Sekian dari saya. Barangkali ada yang nyasar kesini, semoga tulisan saya ada manfaatnya hahaha.
6 Mei 2019