Kamis, 30 November 2023
Paradoks Jauh
Rabu, 29 November 2023
Save Place
Minggu, 26 November 2023
Penggemar Fanatik, Bucin Forever
Selasa, 21 November 2023
Pasrah
Selasa, 14 November 2023
Midnight Poem: Tuan Putriku
Jumat, 03 November 2023
Midnight Poem: Orang Bodoh
Senin, 28 Agustus 2023
Wisteria, Bunga yang Indah namun Beracun
Wisteria, Bunga yang Indah namun Beracun.
Akhir-akhir ini, saya mengamati diri saya sendiri. Ini bukan soal paras dan penampilan luar, namun lebih kepada perilaku dan pemikiran, sesuatu yang berasal dari dalam. Mungkin saya mirip seperti judul tulisan ini: Wisteria.
Sampai akhirnya, saya mulai tergila-gila dengan penampakan bunga wisteria yang cantik itu. Lagipula, wisteria mengingatkanku kepada seseorang, yang sangat mirip dengan aku namun bukan aku. Dan lama-lama, tanpa kusadari, aku pun mulai makin menjadi mirip seperti dia. Awalnya kami memang sudah mirip, tapi semakin lama mungkin aku semakin mirip dengannya karena tanpa sadar semua yang pernah dia lakukan, aku pun melakukannya pula. Dulu aku tidak mengerti sebagian sisi dirinya, tetapi semakin lama aku semakin bisa mengerti sisinya yang dulu pernah membuatku bingung sekaligus penasaran.
Wisteria, oh wisteria. Kini aku pun menjadi mirip denganmu, seperti dia yang sejak awal sudah terlebih dulu mirip dengan kamu dibandingkan aku.
Dan karena saya adalah wisteria… sebenarnya saya tidak pernah meminta merasakan terluka sampai menjadi trauma akibat perbuatan orang lain, apalagi meminta berperan menjadi traumanya orang lain. Tapi misal terlanjur terjadi seperti itu, suka tidak suka, mau tidak mau, karena sudah terlanjur terjadi, berarti itu takdir, takdir yang pahit. Diizinkan berhasil terjadi di dunia ini oleh Tuhan, entah apa maksud dan tujuannya boleh terjadi. Mungkin ada hikmahnya, entah untuk siapa hikmahnya, dan entah hikmahnya apa.
Maafkan saya jika ada salah, saya juga akan berusaha selalu introspeksi dan memperbaiki diri demi diri sendiri dan orang-orang lain di sekitar saya jika bisa. Dan entah saya memaafkan penyebab trauma saya atau tidak namun selama masih cukup waras, saya akan berusaha untuk tidak menyakiti dan mengganggu orang lain. Tetapi memang, saya paham, ya namanya juga hidup, terkadang berlaku hukum rimba yang keras, kalau tidak menyerang ya diserang, kalau tidak melukai ya dilukai, bahkan sengaja atau tidak, hal tersebut lazim terjadi. Dunia yang secara umum penuh kasih sayang/cinta kasih kepada sesama itu sebenarnya tidak 100% mustahil sih, namun... sepertinya jauh lebih dekat kepada "utopia" daripada realita.
Kalau bisa, biarlah hidup masing-masing dengan cukup damai tanpa saling mengusik, namun jika tidak bisa... ya sudah, inilah dunia, mau bagaimana lagi? Secara logika, wajar saja merasa terluka selama kita bergerak. Bergerak itu jelas beresiko, selalu beresiko. Bahkan diam saja beresiko, apalagi bergerak? Dan karena kita masih manusia yang bernapas serta diciptakan memang mampu merasakan kesakitan, makanya wajar jika merasa kesakitan jika terluka, bahkan mungkin sampai trauma tidak ingin terluka lagi. Karena secara perasaan itu memang menyakitkan.
Makanya, itu semua perasaan yang sangat melelahkan dan memuakkan, tetapi karena masih manusia, mau tidak mau, suka tidak suka, masih tetap akan terasa jika masih cukup berperasaan, apalagi jikalau masih memiliki "kemelekatan dengan dunia" yang kuat.
Memang ini kurang baik dituliskan di sini, karena seolah dijadikan pembenaran, namun pada dasarnya, tiap manusia memang tempatnya salah sih. Hal yang biasanya susah diterima oleh perasaan, bahkan meski akal-pikiran sudah cukup bisa menerima duluan.
Tetapi memang pada akhirnya, wisteria itu hanya indah untuk dipandangi dari kejauhan dan dikenang keindahannya, jangan didekati, karena ia beracun.
29 Agustus 2023
Selasa, 18 Juli 2023
Jika Fi adalah fungsi Feeling introvert, kenapa ada user Fi yang suka curhat kepada orang lain dengan gampangnya, bukannya user Fi tidak suka curhat dan cenderung tidak menampakan emosinya?
Jumat, 14 Juli 2023
Bagaimana kamu bisa begitu percaya pada agama mu adakah kisah dalam hidup mu yang membuat kamu yakin?
Rabu, 28 Juni 2023
Apa Pendapatmu tentang Jodoh?
Jodoh itu ada jangka waktu/durasinya.
Jangka waktu/durasi maksudnya gimana?
Kalau menurut saya pribadi—ini ditanya pendapat pribadi lho ya, benar-salahnya subjektif, dikembalikan/terserah kepada keyakinan masing-masing saja—jodoh ada jangka waktu/durasinya maksudnya seperti ini…
Saya meyakini jodoh itu adalah sesuatu yang kita rasa cocok dan memang ditakdirkan oleh Tuhan boleh/bisa terjadi kepada kita selama masa hidup kita sampai nanti kematian datang menjemput. Entah itu mengenai persatuan, perpisahan, kepemilikan, ke-berpindah-tangan-an, dan hal-hal lain yang semacam itu, pokoknya sesuatu yang kita rasa cocok dan ditakdirkan boleh/bisa terjadi kepada kita—terserah itu mau dari jalur mana saja, apakah jalur berusaha/diusahakan atau tahu-tahu datang sendiri ke dalam kehidupan kita, pokoknya kalau menurut saya jodoh itu sesuatu yang boleh/bisa terjadi dalam kehidupan kita. Jadi menurut keyakinan saya jodoh itu bisa berupa harta-benda material, rezeki berupa harta, rezeki berupa kesempatan, rezeki berupa relasi/hubungan, dan banyak lagi wujud-wujud jodoh lainnya.
Kebanyakan orang sering mengaitkan perkara jodoh ini dengan hubungan pernikahan kan? Nah, kalau menurut saya juga hal tersebut bisa termasuk ke dalam jodoh berwujud rezeki relasi/hubungan. Lalu kaitannya dengan jangka waktu/durasi yaaa… saya pribadi memandang manusia yang bisa sampai (pernah) berhasil menikah dengan manusia lain di dunia ini pastilah mereka berjodoh. Cuma soal nanti perjalanan pernikahan mereka akan mulus atau tidak, dan apakah pernikahan mereka akan lama/langgeng atau tidak, apakah pernikahan mereka suatu saat akan berakhir akibat salah satunya meninggal (cerai-mati), atau ujung-ujungnya akan cerai-hidup karena rumah-tangganya mengalami suatu permasalahan yang solusi terbaiknya mungkin memang harus bercerai, ya pokoknya soal nanti akhirnya mereka sang pasangan akan bercerai karena masalah atau bercerai karena dipisahkan maut, menurut saya itu adalah persoalan yang tidak terlalu mengubah pandangan saya mengenai pasangan tersebut.
Di mata saya tetap, mereka berjodoh karena pernah sampai menikah, apapun ending/akhir dari kisah mereka. Misal baru 5 bulan menikah tahu-tahu sudah bercerai, saya pribadi menganggap mereka tetap berjodoh, atau bisa juga disebut pernah berjodoh, namun jangka waktu/durasi berjodohnya hanya sebentar saja yaitu hanya 5 bulan itu tadi. Begitu pun pasangan yang bisa bertahan sampai puluhan tahun, saya anggap mereka berjodoh dengan pasangan mereka selama jangka waktu/durasi puluhan tahun.
Lalu kalau orang yang (pernah) menikah lagi gimana?
Kalau menurut saya pribadi, sesimpel saya "nggak mau repot" juga, nggak mau terlalu mikir njelimet, ya simpel aja… memang ada manusia yang takdirnya menikah lebih dari 1x di dunia ini, jadi ya sudah… diterima saja hal tersebut, toh tidak dilarang (setidaknya tidak semua agama/keyakinan melarang hal seperti ini).
Hmm… lagipula saya pernah beberapa kali mendengar kalimat yang… ya pahit sih, nggak enak didengar, tapi kalau dipikir-pikir mungkin ada benarnya juga (tapi pada akhirnya tergantung keyakinan masing-masing ya). Gini kira-kira kalimatnya:
Terkadang Tuhan mengizinkan terjadinya suatu pernikahan hanya agar seorang anak bisa terlahir ke dunia ini melalui perantaraan suami-istri tersebut sebagai orangtua biologisnya.
Ada lagi versi lain, intinya ya sama aja sih:
Pernah dengar, setiap anak sudah ditakdirkan akan terlahir dari orangtua yang mana, orangtuanya sudah ditentukan oleh Tuhan sejak sebelum anak tersebut dilahirkan. Sehingga jodoh tidak mungkin tertukar, karena kalau misal tertukar, misalnya si A tidak menikah dengan si B, maka tidak akan pernah terlahir si Fulan yang memiliki ibu biologis si A yang melahirkannya, dan ayah biologisnya adalah si B. Jadi jikalau ada si Fulan, maka si A dan si B pastinya pernah menikah (entah setelah Fulan lahir mereka tetap masih melanjutkan hubungan pernikahan atau bercerai, itu sudah lain soal).
*notes pribadi: mungkin sebenarnya kalau cuma mau "membuat anak" itu tidak harus/tidak hanya bisa terjadi melalui jalur pernikahan, bisa juga ada anak yang lahir akibat hubungan di luar nikah, namun… paham maksud saya tidak? Intinya yang namanya takdir dan jodoh itu tidak akan pernah tertukar, seperti ayah biologis dan ibu biologis dari seorang anak, atau anak biologis dari seorang manusia, itu takkan pernah tertukar.
Ya kalau didengar tuh pahit gitu kan, ironis amat menikah cuma buat melahirkan seorang anak, habis itu (mungkin) bercerai, dan bahkan (jika perceraian betulan sampai terjadi maka) anak tersebut berarti takdirnya terlahir menjadi anak broken-home ? Pahit bangeeettt…
Ya tapi begitulah hidup, ada hal-hal yang bisa kita usahakan semaksimal mungkin dan berhasil (fase 1). Ada juga hal-hal yang sudah kita usahakan semaksimal mungkin sampai jungkir-balik namun tetap gagal (fase 2). Ada hal yang nggak kita usahakan dengan baik tapi tahu-tahu kita mendapatkan hasil yang baik (bisa disebut keberuntungan?—kita sebut saja fase 3). Dan ada hal yang nggak kita usahakan dengan baik… dan yaa kita nggak akan mendapatkan hasil apapun (fase 4). Hidup ini penuh misteri kalau menurut saya, dalam artian kita tidak akan pernah 100% bisa tahu pasti kita sedang ada di fase yang mana sebelum hasil akhirnya terlihat, apakah sedang di fase 1, fase2, fase 3, atau fase ke-4? Yang tahu pasti hanya Tuhan Semesta Alam Sang Maha Pencipta. *saya tim manusia yang masih percaya Tuhan ya, makanya saya bilang pada akhirnya dikembalikan pada kepercayaan masing-masing saja
Tetapi yang saya yakini, pada akhirnya… apapun yang terjadi di dunia ini, ujung-ujungnya semua ada jangka-waktu/durasinya. Bahkan kehidupan kita sendiri sebagai individu, pada akhirnya akan ada masa durasinya berakhir, yaitu ketika kematian datang menjemput.
Demikian kalau menurut pendapat pribadi saya. Sekian dan terima kasih telah repot-repot membaca sampai sini…
29/06/2023
*telah ditulis di suatu akun sosial media saya yang lain
Bonus quotes untuk pemanis:
Rabu, 07 Juni 2023
Intuisi
Minggu, 14 Mei 2023
Jodoh yang Tertulis di Lauhul Mahfudz
Rabu, 05 April 2023
Sefrekuensi
Kebanyakan orang mencari pasangan nya itu yang "sefrekuensi". Bukankah yang namanya pasangan itu sejatinya melengkapi antara kekurangan dan kelebihan masing-masing. Menurutmu, apa yang dimaksud dengan sefrekuensi itu?
Sefrekuensi versi saya…
Saya tertarik dan asyik memikirkan topik A, dia juga merasa tertarik dan asyik dengan A. Dia tertarik dan asyik dengan topik B, saya juga tertarik dan merasa asyik dengan topik B. Semacam itu, tapi untuk hal-hal yang penting dan berperan cukup besar dalam diri masing-masing, atau hal yang telah menjadi kebiasaan atau hobi/kegemaran selama bertahun-tahun. Pokoknya bukan cuma hal-hal yang sekilas lalu kayak tren viral sesaat yang cepat datang dan pergi.
Semisal, misal nih contoh simpelnya, sejak kecil saya penyuka genre horror, thriller, dan tertarik dengan kisah-kisah seram (entah mistis atau kriminal), misteri-misteri kehidupan (mistis dan non mistis) serta kasus-kasus mistis dan fenomena anak indigo. Saya akan anggap saya sefrekuensi dengan orang yang:
- Dia percaya bahwa ada juga kok hal-hal mistis di dunia ini bukan hanya ada hal logis saja.
- Dia tertarik membahas hal-hal seperti itu juga, at least, minimal banget, nggak memandang dan mengatai bahwa saya aneh, freak, creepy, kurang kerjaan dan buang-buang waktu karena tertarik dan menyukai hal semacam itu.
- Dia percaya kalau anak indigo dan fenomena kesurupan itu ada, at least, minimal banget, dia nggak anggap anak indigo itu 100% hoax dan orang kesurupan itu 100% hoax, cuma gangguan kejiwaan saja. Saya pribadi percaya 50 : 50, kadang ada memang fenomena yang merupakan gangguan kejiwaan dan butuh penanganan medis-psikologis, tetapi tetap ada fenomena yang memang dia mistis-gaib, jadi fleksibel aja gitu, semua kemungkinan pasti ada.
- Bisa saya ajak nonton film horror dan thriller, baca novel/komik horror dan thriller, atau mendengarkan podcast horror dan thriller bareng-barengn dan menikmatinya. Minimal dia nggak penakut dan tahu keseruannya menikmati genre ini tuh apa, tapi bukan untuk bermaksud "nantangin" makhluk gaib atau penjahat juga sih ya.
Misalnya seperti itu. Kenapa saya anggap saya hal ini penting dan bisa menentukan sefrekuensi dengan saya/tidak? Karena saya sudah tertarik dan menyukainya sejak saya kecil = sudah bertahun-tahun dan sebagian waktu saya dihabiskan untuk menikmati genre tersebut selama bertahun-tahun = sudah cukup besar berdampak pada kehidupan saya.
Itu contoh sefrekuensi yang paling remeh karena "cuma" di hobi/kegemaran, tapi tetap penting sih kalau menurut saya. Selera humor yang sama dan model lawakan/bercandaan yang mirip, itu juga bisa dianggap tanda sefrekuensi yang remeh. Karena enak banget tahu kalau bisa sama-sama menikmati lelucon atau genre yang sama apalagi bisa membahas bareng soal itu.
Kalau sefrekuensi yang lebih mendalam gimana? Misalnya, gini sih…
Misal saya punya cita-cita masa depan mau hidup tenang dan sederhana di pinggiran kota, punya uang dan tabungan cukup, tapi saya nggak bakal pakai itu untuk membeli rumah megah, kendaraan baru yang bagus, baju-baju indah yang mewah, atau menyekolahkan anak saya di sekolah internasional (ceritanya doang nih ya, ceritanya mampu nih sebenernya duitnya buat ke international-school wkwk). Saya mau hidup tenang dan sederhana aja gitu di pinggiran kota, rumah secukupnya yang penting layak, kendaraan seperlunya aja yang penting ada, baju-baju yang penting punya yang layak pakai dan nggak lusuh, menyekolahkan anak ya di daerah sekitar aja nggak usah sampai sekolah internasional segala yang penting ilmunya nyampai, kalau ada perlu akses ke sumber ilmu lain ke internet aja, ikut kursus online kek apa kek. Ya pokoknya maunya di pinggiran kota aja walaupun punya uang.
Eh sedangkan pacar saya ternyata sehabis ngobrol-ngobrol soal cita-cita baru ketahuan dia maunya hidup di jantung ibukota, kalau perlu di luar negeri, dengan segala kemewahan dan prestisenya, terus kerja keras banting tulang nyari uang ya buat dinikmati dalam wujud barang-barang classy (walau tetap menabung dan investasi ya), kalau bisa hidup maju di kota ngapain tinggal di pinggiran? Anak sekolah di kota kalo perlu di sekolah internasional lah, biar maju gitu pemikirannya dan akses pendidikannya lebih mudah lagi.
Intinya, beda pemikiran dan tujuan utamanya sih. Saya maunya di pinggiran kota, dia maunya di jantung ibukota kalau perlu di ibukota luar negeri sekalian. Saya maunya anak sekolah biasa aja yang penting sekolah aja dulu, si pacar maunya anak ntar sekolahnya yang elit sekalian. Kalau menurut saya, semisal hal begini itu termasuk contoh "tidak sefrekuensi dalam hal besar/penting" karena kaitannya dengan rencana gambaran masa depan yang akan dijalani bersama.
Ada lagi contoh lain tentang sefrekuensi/tidak, semisal… saya pakai contoh agama saya ya. Jadi semisal saya muslimah, terus saya punya calon pasangan muslim. Yaa… di KTP sama sih, sama-sama Islam. Tapi ternyata dia tipe pria yang mentingin syari'at banget dan kaku, sampai meminta saya pakai cadar nanti sehabis menikah. Sedangkan misal saya yakin kok pakai kerudung itu wajib tapi bercadar nggak dan saya nggak ada niatan pakai cadar. Terus makin ditelisik makin kelihatan lah kalau kami "beda aliran". Nah, itu juga termasuk contoh tidak sefrekuensi dalam hal besar/penting sih, karena kaitannya dengan keyakinan masing-masing yang akan terus dilanjutkan dan dilestarikan di dalam keluarga.
Kalau menurut saya pribadi, ketika belum menikah dan tidak sefrekuensi dalam hal besar/penting, mendingan bubaran/akhiri aja sih hubungannya jangan dilanjutkan ke jenjang lebih serius. Karena amat sangat rawan cekcok, tujuannya aja udah beda banget, gimana nantinya mau bisa tinggal bareng dengan akur pasca pernikahan? Mending cari yang lain deh yang lebih sefrekuensi, terutama di hal-hal besar. Kalau bertoleransi soal sefrekuensi di hal remeh agak masih lebih bisa sih, walau jelas akan tetap jauh lebih enak berhubungan dengan orang yang benar-benar sefrekuensi di hal-hal besar maupun remeh ya.
Kecuali, ketika sudah terikat pernikahan, tiba-tiba kita/pasangan kita ada yang berubah menjadi beda frekuensi. Contoh nih, misal… awalnya misal saya dengan pasangan sesama orang yang "biasa saja". Nggak nakal tapi nggak alim banget juga, nggak jahat tapi nggak super baik juga, pokoknya selama ini kami biasa aja gitu. Lalu suatu hari, tiba-tiba pasangan saya tobat dan hijrah jadi orang yang lebih baik, lalu dia coba mengajak saya, tapi saya masih shock dengan perubahan dia dan merasa nggak/enggan ikut berubah apalagi secara amat mendadak begitu. Saya merasa selama ini walau nggak baik dan alim banget tapi kami—terutama saya—juga kan nggak seburuk itu. Nah kalau begini, sudah terlanjur terikat pernikahan, pasti nggak bisa main cepat-cepat bubaran/mengakhiri hubungan begitu saja kan cuma dengan alasan tidak sefrekuensi? Kalau kasusnya begini harus didiskusikan bersama dengan sekepala dingin mungkin, benar-benar cari plus minus dan jalan tengah terbaik/win-win solutionnya seperti apa.
Yaaa, intinya kira-kira sefrekuensi kalau menurut saya seperti itu, ketika saya tertarik dan asyik memikirkan topik A, dia juga merasa tertarik dan asyik dengan A. Ketika dia tertarik dan asyik dengan topik B, saya juga tertarik dan merasa asyik dengan topik B. Pokoknya merasa tertarik dengan hal yang sama/mirip di waktu yang sama.
Soal "pasangan itu sejatinya melengkapi antara kekurangan dan kelebihan masing-masing" , itu saya setuju banget lho. Memang sebaiknya begitu. TETAPI… carilah pasangan yang sefrekuensi, dan yang kelebihannya kamu sukai dan kelemahannya bisa kamu terima.
Bisa lho, sefrekuensi dengan saling melengkapi kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Atau kalau misal dibalik jadinya… di antara beberapa orang yang punya kelebihan dan kekurangan yang sama persis, kita bisa dan lebih baik memilih seseorang yang sefrekuensi dengan kita lho.
Contoh nih, misal… ceritanya saya jomblo terus saya punya kenalan lawan jenis, kita sebut saja si F dan si G. Misal si F dan si G orangnya sama-sama supel dan jenaka (ceritanya), tetapi sama-sama kurang bisa memanajemen keuangan. Sedangkan (ceritanya) saya jago nih memanajemen keuangan, tetapi saya orangnya kurang luwes dalam bersosialisasi. Tapi saya lebih merasa sefrekuensi sama si G karena dia juga penyuka horror dan orangnya kalem/nggak terlalu mengejar duniawi daripada si F yang udah mah penakut, nggak bisa memanajemen keuangan dengan baik, eh ternyata keuangan dia itu boncosss (habis terus) salah satunya gegara dia amat sangat mementingkan membeli barang-barang keluaran terbaru biar ngikutin tren dan demi gengsi.
Yaaa… misalnya kalau saya disuruh memilih di antara mereka, dengan kelebihannya sama-sama luwes dan jenaka serta kelemahannya mereka yang sama-sama nggak jago memanajemen keuangan, tetapi saya merasa lebih sefrekuensi dengan si G karena genre kesukaannya sama dan gaya hidupnya mirip, ya saya mendingan memilih berpasangan sama si G lah daripada si F. Kelebihan dan kelemahan saya dan G kan sudah saling melengkapi + kami sefrekuensi = kemungkinan hubungan kami bakalan lebih mudah akur karena pemikiran yang cocok, dan lebih seru/menarik untuk dijalani, jadinya kemungkinan langgengnya lebih besar, daripada jikalau saya berpasangan dengan si F. Entar kalau sama F saya bisa protes mulu dia terlalu menghambur-hamburkan uang untuk penampilan, atau malah dia yang protes saya nggak gaul cupu banget, belum lagi penyebab berantem-berantem yang lain.
Gitu deh kira-kira. Intinya menurut saya pribadi, sefrekuensi itu PENTING BANGEEEETTT! Dan bisa, bisa banget kok sefrekuensi dengan saling melengkapi kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Monmaap sebelumnya kalau kata-kata ini bakalan menyinggung, tapi… nggak usah mencari "pembenaran" kalau kalian orangnya males mikir dan gamau ribet. Males mikir ya males mikir aja, gamau ribet ya gamau ribet aja, akuin aja sih itu semua, gausah berlindung dibalik kata-kata "pasangan sejati itu harus saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing" kalau lu aja gak paham-paham amat sama apa kelebihan lu, kekurangan lu, dan hal-hal yang lu sukai dan lu anggap penting dari dan untuk diri lu sendiri, dan apa kelebihan dan kekurangan pasangan lu serta hal-hal yang dianggap berharga dan yang disukai oleh pasangan lu sendiri.
Sekian, monmaap kalo closingnya agak jelek ya. ✌️🙏
04/04/2023
*disalin dari suatu akun pribadi saya