Selasa, 29 Desember 2020
Midnight Poem part 3 (24)
Rabu, 04 November 2020
Meditasi Regresi Past Life
Hasil dari 2x meditasi iseng:
Jadi, kayaknya aku itu dulunya anak dari warga Inggris yang jd penjajah di Malaysia. Soalnya aku setting visionnya di wilayah pertanian di kaki gunung di Malaysia.
Kakekku di vision itu orang Inggris, menikah sama orang Malaysia. Punya anak cowok berwajah pribumi yang sedang sakit-sakitan. Anak cowok ini kayaknya menikah sama turunan bule tap imiskin (kayak mungkin misalnya maids yang dibawa langsung dari Inggris), terus lahirlah "aku" yg di zaman itu.
Aku sendiri tampilannya anak remaja perempuan umur 14-15 tahun mungkin, rambut pirang, dan ajaibnya mata biru, terus... gity deh. Intinya aku pakai baju kayak lolita style gitu + tudung kepala, rambutku di kepang dua.
Aku curiga sih disana aku pacaran sama pribumi Malaysia yang bekerja sebagai petani. Soalnya waktu itu aku kayak bawa-bawa keranjang makanan dan pergi ke sawah, kayak mau ngasih makanan ke seseorang gitu. Kuduga sih itu "pacarku" (yang entah siapa, aku gabisa lihat/ga ketemu).
Soalnya dari 2 hasil vision meditasiku, aku juga dikasih lihat 2 rumah.
Yang 1 rumah sederhana banget cenderung kayak rumah orang miskin, kuduga ini rumah si petani.
Yang 1 lagi rumah kayu yang ga gede-gede bgt sih, tapi cukup bagus dan asri, a la Eropa gitu. Mirip lukisannya Jo Grundy sih. Di dalam rumahnya banyak banget dipajang miniatur kendaraan: pesawat, kapal layar, mobil dan motor. + ada juga patung-patung prajurit Eropa gitu yang pakai baju kayak nutcracker.
Bahkan di dalam suatu kamar, ada pesawat-pesawatan dari kayu yang gede banget. Aku sampai ngelus-ngelus pesawat itu.
Terus ada juga lukisan kapal layar yang layarnya warna merah.
Kalau di rumah kayu ini, di halamannya banyak tanaman dan bunga-bunga. Terus di sebelah kiri rumah tuh ada danau, dan di seberang danau ada air terjunnya gitu deh.
Kalo di depan rumah, ya ada persawahan itu. Dan dari rumah keliatan pegunungannya.
Keren sih hahaha. Aku gatau itu beneran atau nggak, tapi menarik.
Sekaligus kayaknya memang jadi agak jelas kenapa kisah cintaku "begini" 😅
Setidaknya alam bawah sadarku udah tahu polanya, terlepas dari itu beneran past life atau cuma gambar-gambar dari alam bawah sadar aja. Dari dulu aku ternyata memang pacarannya sama yang "beda kasta" mulu, makanya hubungannya selalu jadi terasa sulit untuk bersama :") hahahahaha
Bagian dari Midnight Poem another side: Replay
Senin, 12 Oktober 2020
Midnight Poem part 3 (23)
Selasa, 06 Oktober 2020
Midnight Poem part 4 (4)
Sabtu, 03 Oktober 2020
Bagian dari Midnight Poem part 3: more than you see, more than you know
Jumat, 02 Oktober 2020
Midnight Poem part 4 (3)
Midnight Poem part 4 (2)
Midnight Poem part 4 (1)
Minggu, 27 September 2020
Midnight Poem part 3 (22)
Jumat, 25 September 2020
DUDU again
Midnight Poem part 3 (21)
Sabtu, 19 September 2020
DUDU dududu~
Minggu, 30 Agustus 2020
Bagaimana Tips Menabung a la Kamu?
Dari kecil, saya cukup suka menabung (efek tak sengaja membaca beberapa artikel finansial), dengan berbagai variasi cara. Menurut saya, menabung itu macam permainan/game strategi soalnya, dan itu menarik 😂 saya menabung fokus utamanya bukan masalah nominalnya berapa, atau mau dipakai buat apa, tapi lebih menikmati aktivitasnya hahaha… Seru saja melihat sesuatu yang berprogress, meski secara nominal nggak bisa dibilang besar tabungan saya, tapi… ada lah, lumayan punya cadangan uang walaupun sedikit-sedikit.
Jadi saya mau coba bagikan tips saya deh. Tips menabung ala saya, antara lain…
- Suka dulu, dan nikmati pelan-pelan. Jangan anggap menabung itu suatu beban, anggap saja akan/sedang melakukan suatu permainan.
Saya pribadi memang cukup menikmati menabung, karena dari awal saya pikir itu seperti permainan strategi, tapi di dunia nyata. Toh setelah sebagian uang saya tabung di awal—bahkan misal sesedikit apapun, yang penting saya ikhlas (biar nggak merasa beban) dan memang nyata sudah ada se per sekian uang yang saya tabung dari keseluruhan uang saya, berapapun yang saya ikhlas itu—sisa uangnya bisa saya hamburkan dengan puas kalau saya mau. Tapi… cuma kalau saya mau sih, soalnya metode menabung saya…
- Menabung di awal, menabung di tengah, dan menabung di akhir.
Bagaimana maksudnya menabung di awal, menabung di tengah, dan menabung di akhir?
Begini, misal, misalnya saya punya uang jajan (ceritanya pakai uang jajan aja lah biar semua umur bisa nyambung) 500 ribu/bulan. Lalu misal saya sudah sisihkan 50–75 ribu untuk tabungan dan saya simpan di awal. Sisa 400 ribu untuk operasional saya dalam sebulan.
Eh tunggu? Yang sisa 25–50 ribu nya kemana?
Oh, itu sih sengaja disisihkan untuk sedekah/infaq/kemanusiaan/kemaslahatan lingkungan/dsb. Biar bagaimanapun, manusia kan makhluk sosial dan kalau bisa ada bantu-membantu untuk sesama yang membutuhkan dan lingkungan, minimal sekali tidak merugikan. Jadi hal yang macam itu sebaiknya tak terlupa. Biar tidak lupa dan tidak terpakai-pakai uangnya, lebih baik saya sisihkan khusus dari awal. Minimal ya segitu per bulan (maksudnya dalam contoh ini).
Buat yang sesama muslim, biar berkah juga uangnya, jangan lupa sebagian disedekahkan dengan ikhlas karena Allah SWT. Kalau yang uang penghasilannya sudah sampai nominal tertentu yang wajib membayar zakat profesi, jangan lupa zakatnya dikeluarkan dulu di awal biar nggak terpakai + sedekah juga sekalian kalau masih sanggup.
Ok, balik lagi ya ke contoh, jadi misal tadi operasional saya 400 ribu. Lalu, misal saya merenung lagi, 400 ribu dibagi 4, saya bisa pakai 100 ribu seminggu. Dan sepertinya dari 100 ribu seminggu, saya bisa lah menyisihkan 5.000 ribu per minggu. Jadi saya bisa menyisihkan 20.000 per bulan. Untuk operasional saya jadi 95 ribu saja per minggunya. Ini yang saya sebut menabung di tengah.
Lalu misalnya di akhir bulan, masih sisa 37.000, misal. Maka yang 30.000 bakal saya tabung juga, tapi beda wadah/celengannya dengan yang tadi 50–75ribu, dan yang 5.000/minggu. Sisa 7.000 nya saya masukkan ke jatah uang jajan bulan depan.
Jadi, seperti sempat saya sebut di poin sebelumnya, di awal saya sudah menabung, karena bagi saya, menabung itu lebih baik di awal. Tapi… misal di tengah bulan masih bisa menabung, dan di akhir bulan pun masih ada sisa, daripada dihamburkan, mendingan ditabung juga kan?
Itu cuma contoh saja sih, tapi saya rasa cukup mudah dipahami dan bisa disesuaikan dengan keadaan masing-masing. Di sini saya tidak berfokus ke nominal, namun ke konsep + praktik nyata dari konsepnya. Konsepnya ya begitu, dan untuk praktinya, tak peduli berapapun nominal yang bisa disimpan, mau sedikit macam apa juga, simpan saja. Masih mending punya sedikit daripada tidak punya apapun samasekali, alias 0 rupiah. Mau misal, ini misal saja di awal bulan cuma bisa menabung 5.000 rupiah? Tabung saja! Mau di tengah cuma bisa menyisihkan 2.000 per minggu karena sisa recehan bayar parkiran, tabung saja! Mau di akhir bulan cuma bisa menabung 500 rupiah sekali pun, why not? Tabung saja! Tak masalah, itu masih mending daripada 0 rupiah.
Dan kalau misal menabung di bank yaa… untuk tabungan awalnya, ya tetap simpan saja di bank, entah di rekening yang sama atau ditransfer ke rekening lain. Tabungan menengah dan akhir, bisa dalam wujud cash misal uangnya sudah ditarik, bisa pula tetap di dalam rekening. Uang yang sudah berwujud cash ini pun kan bisa dikumpulkan hingga berjumlah sekian, lalu disetorkan lagi ke bank untuk menambah jumlah saldo rekening tabungan.
Jadi, mau menabung manual, mau di bank, saya rasa bisa-bisa saja pakai konsep ini. Konsep ini pun cukup fleksibel kok, karena saya tidak membatasi juga tabungan yang di awal itu untuk 1 tabungan saja atau bisa dipecah-pecah jadi beberapa jenis. Semua tergantung yang menabung sih. Macam misal 75 ribu itu dibagi 3, 25 ribu, 25 ribu, 25 ribu untuk masing-masing tabungan berbeda. Tak ada masalah sih.
Pokoknya saya tidak fokus di nominal dan angka-angka serta cara menabungnya manual atau melalui bank, tapi ke konsep menabung dan praktiknya. Menabung di awal, menabung di tengah, dan menabung di akhir.
- Membuat beberapa tabungan sekaligus.
Saya tipe yang memecah belah tabungan, jadi nggak berfokus di satu. Memang jadinya pertambahan tabungan saya lambaaattt, namun enaknya… terpakai 1, masih ada yang lain dan yang lain tidak terdampak dari terpakainya salah 1 tabungan. Yang saya incar adalah: tabungan tidak mudah ludes dalam sekejap, karena saya kudu mikir-mikir dulu mau pakai yang mana dan seberapa banyak.
Biasanya saya memakai dari yang jumlah totalnya tersedikit dulu, kalau masih kurang baru yang banyakan. Tapi tergantung kebutuhan juga. Misal saya mau beli barang harga 267 ribu. Sedangkan saya punya 4 opsi:
A. Tabungan yang isinya 74.000
B. Tabungan yang isinya 150.000
C. Tabungan yang isinya 325.000
D. Tabungan yang isinya 572.000
Maka yang akan saya pakai yang C sih. Kecuali saya punya uang 53.000 cash untuk menambal kekurangan tabungan A dan B jika digabung (74+150=224) baru saya pakai tabungan A ditambah tabungan B.
Tapi misal nggak mau ribet, saya pakai tabungan C saja, karena menabung dari 0 lagi itu… rasanya malas sih hahaha…
Pokoknya intinya, tabungan yang paling besar nominalnya itu tak perlu diusik. Kecuali saya butuh barang harga 500 ribuan, baru saya langsung fokus ke tabungan D dan menjaga tabungan A, B, dan C agar tetap utuh tak ikut terpakai.
Tabungan-tabungan ini bisa saja saya bedakan berdasarkan tujuannya, tapi bisa juga hanya berdasarkan nominalnya saja. Misal saya punya wadah khusus tabungan 10.000/minggu, ada wadah lain yang isinya 20.000/bulan. Misalnya. Walau misal ditanya "apa bedanya tabungan 10.000 dan 20.000?" bisa saja saya menjawab tidak ada bedanya selain nominal dan periode pengisiannya, saya simpan ya simpan saja dulu misal memang belum butuh pakai uang. Untuk apa memaksakan menghabiskan uang, padahal misal saya belum tahu mau dihabiskan untuk apa yang memang berguna. Atau misal saya merasa sudah berkecukupan dengan saya yang seadanya saat ini, jadi buat apa boros?
- Fokus pada konsistensi dan kontrol diri, bukan nominal tabungan.
Sudah saya sebut sebelumnya, tak perlu terlalu memikirkan nominal, yang penting simpan yang bisa disimpan.
Ok, tak bisa dipungkiri, jumlah nominal tabungan memang penting juga. TAPI… percuma juga kan kalau sudah menabung banyak, tapi baru menabung sebentar tahu-tahu sudah dipakai lagi duitnya sampai habis tak berwujud. Macam "celengan bocor" alias… sama saja seperti tidak menabung.
Jadi kalau bagi saya, jauh lebih bagus sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Dan TABUNGAN TIDAK DIGANGGU GUGAT KECUALI BETULAN DARURAT.
- Hargai nominal dan frekuensi menabung, sekecil dan sejarang apapun.
Awalnya saya tidak begini amat, tapi lama-kelamaan saya begini. Hargai nominal dan frekuensi menabung, sekecil dan sejarang apapun. Karena sekecil dan sejarang apapun saya menabung, tapi misal masih konsisten (saya sudah sebut sebelumnya, kuncinya di konsistensi), suatu saat akan mulai terlihat wujudnya walau yaa… kecil, karena kan yang ditabung memang kecil. Tapi, balik ke prinsip awal saya, memiliki walau nominal kecil masih lebih baik/mending daripada tidak ada samasekali. Lebih baik masih punya 10 ribu rupiah daripada 0 rupiah kan?
Saya pernah sih punya tabungan begini, ada 3, saya namai tabungan 500, tabungan 1000 dan tabungan 2000. Ini nominal yang terkecil yang masih "laku" di pasaran. Saya membuat rules menabung sendiri bagi saya: minimal dalam seminggu saya harus memasukkan 1x ke celengan masing-masing: minimal 500 rupiah untuk celengan 500, minimal 1000 rupiah untuk celengan 1000, dan minimal 2000 rupiah untuk celengan 2000.
Jadi, ya begitu, minimal banget, paling minimal, saya harus menabung 3500 rupiah/minggu dan saya sebar di 3 wadah berbeda. Itu paling minimal saja ya, jadi misal mau saya tambah, misal saya 2x memasukkan uang dalam seminggu, atau misalnya saya memasukkan uang 5000 di celengan 2000, itu tak masalah juga. Yang jelas saya ada target paling minimal 3500 rupiah/minggu.
Hasilnya, dalam setahun, ya lama sih, tapi lumayan lah, saya bisa dapat beberapa ratus ribu dalam setahun.
Ini, saya coba beri prakiraan paling mendasarnya tuh dapat berapa:
500 x 4 x 12 = 24.000
1000 x 4 x 12 = 48.000
2000 x 4 x 12 = 96.000
Total = 168.000 rupiah/tahun. Biasanya kalau begini saya bulatkan lagi menjadi 170.000 atau malah 200.000 sekalian, lalu tahun-tahun selanjutnya tabungan ini tetap saya lanjutkan selama saya bisa.
Mari berandai-andai, misal tabungan yang hasil minimalnya 170.000/tahun ini saya lanjutkan konsisten sampai 3 tahun ke depannya, setidaknya saya sudah dapat 510.000. Dan kalau dilanjutkan sampai 5 tahun, dapat minimal 850.000.
Ya sedikit sih, tapi kalau diingat-ingat mendapatkan nominal tersebut hanya dari konsisten mengumpulkan uang yang dianggap "recehan" kan lumayan. Lumayan lho 850.000 buat tambah-tambah beli sesuatu. Atau bahkan misal harga emas batangan 0,5 gram masih seperti sekarang (di saat saya menulis ini) tuh bisa buat beli emas batangan yang paling kecil, lumayan lho malah jadi bisa investasi emas.
Ini misal saja sih, kan durasi menabungnya pun lama kudu menunggu 5 tahun dulu. Cuma yaaa gitu… memandangnya jangan dari "halah dari durasinya kelamaan", tapi dari "hooo… recehan aja bisa buat beli emas, apalagi kalau yang ditabung lebih banyak ya?"
Kira-kira begitu deh.
Pokoknya yaa… Menurut saya tabungan recehan itu tetap lumayan sih, daripada 0 rupiah.
Buat orang yang susah menabung dan sering merasa menabung adalah beban, atau yang merasa uangnya sedikit, saya rasa salah 1 atau ketiga tabungan ini sekaligus, bisa dicoba. 500, 1000, atau 2000 rupiah per minggu. Per minggu ya, bukan tiap hari. Kurasa harusnya nggak beban sih, setidaknya nggak segitunya amat beban macam 2000/hari misalnya.
Ya memang karena frekuensinya jarang dengan nominal tak seberapa, tentu pertambahan jumlahnya jelas lambaaattt. Namun, balik lagi ke prinsip: masih mending ada sedikit daripada 0 rupiah.
Yah, prinsip menabung ala saya memang begitu.
Pernah juga saya iseng menabung recehan 100 dan 200 rupiah, dengan frekuensi bebas, alias sedapatnya saja. Kan menemukan 100 dan 200 itu susah, biasanya cuma dari kembalian belanja. Itu pun biasanya orang menggerutu kan jika diberi recehan 100 dan 200?
Dulu saya pernah kumpulkan sampai sekitar 1 tahun, lalu ketika ibu saya bilang mau menukarkan recehan di minimarket, saya ikutan nebengin uang saya itu ke ibu saya. Eh, lumayan, bisa dapat 30 ribu lebih ternyata cuma dari mengumpulkan recehan 100 dan 200 saja. Hahaha…
Pernah juga saya iseng menabung 2000 rupiah dalam frekuensi bebas, minimal sebulan sekali. Itu memang tabungan iseng sih, not serious. Hasilnya, setahun 54 ribu. Yah, not bad lah.
Pernah juga menabung 5.000 tiap bulan, jadi setahun dapat 60.000, lumayan sih, setelah 3 tahun saya punya 180.000, tapi lupa terpakai buat apa atau malah saya gabungkan dengan tabungan lain mungkin.
Nah, tabungan yang receh-receh begitu kalau digabung nantinya, bisa jadi lebih banyak nominalnya. Jadi tabungan agak besar. Atau… kalau mau pakai untuk tambah-tambah beli keperluan misalkan uang daily sudah habis, pasti saya rogoh yang recehan dulu. Jadi uang tabungan utama saya tak perlu diganggu gugat.
Sama ya mungkin itu tadi, macam yang sudah saya sebut, kalau nominalnya sudah cukup, sampai bisa lho buat beli emas batangan. Atau dipakai modal usaha mungkin, atau investasi lain lah, apa lah.
Oiya, omong-omong zaman sekarang cashless ya? Yah, kalau uang recehnya sudah agak banyak, lumayan buat top up saldo juga terus dipakai jajan, atau yaa… simpan saja sih.
Setor di bank juga bisa, tapi cuma kalau sudah sebanyak sekian hahaha…
- Lupakan setelah menyimpannya, anggap kau tak pernah menggenggam uang tersebut barang sedetik pun.
Kunci agar uangnya tak terganggu gugat setelah disimpan, biar tidak "celengan bocor" tuh disini. Simpan dan LUPAKAN!
LUPAKAN kamu pernah punya 500 di awal bulan, ingat saja kau hanya punya 400 ribu (karena sudah dipotong 100 ribu di awal untuk tabungan dan sedekah).
Atau LUPAKAN kamu menabung 5.000/minggu. Ingat saja, uang mingguanmu memang hanya 95 ribu.
Atau LUPAKAN kamu menabung sisa uang jajan bulan kemarin. Ingat saja uangmu sudah habis tak ada sisanya.
Atau LUPAKAN kamu menabung 500, 1000, dan 2000 tiap minggunya. Ingat saja 3.500 itu sudah dipakai buat bayar parkiran.
Dsb.
Intinya, lupakan setelah menyimpan. Bukan, bukan lupakan letak celengannya itu dimana, tapi lupakan pernah menabung dengan nominal sekian. Ingat saja jumlah uangnya hanya ketika membuka celengannya untuk memasukkan uang, atau menukar uang receh dengan uang yang nominal lebih besar, atau uang lama dengan uang baru.
Saya pribadi malah tidak menyarankan memakai celengan yang sulit dibuka-tutup. Saya malah senang soalnya uang saya mudah diakses TAPI mindset saya yang sulit mengakses uangnya hahaha… karena dengan celengan/wadah yang mudah dibuka tutup, saya bisa mudah menukar recehan saya dengan nominal lebih besar, dan hal tersebut malah membuat saya merasa "sayang" untuk memakai uang itu.
Misal saya menabung 500 an. Suatu hari ketika saya hitung, ternyata sudah ada 20 ribu. Saya tukar lah recehannya dengan selembar 20 ribu. Nah, saya akan semakin sayang untuk menggunakan 20 ribu itu untuk beli-beli sesuatu, saya malah akan gemas menunggunya menjadi 50 ribu suatu hari nanti, lalu saya tukar lagi. Lalu menunggu lagi hingga 100 ribu untuk saya tukar lagi, dst. XD
Ini kalau saya sih, nggak tahu kalau orang lain, hahaha… menurut saya sih, seni dan kenikmatan menabung ya memang disitu, melihat progress uangnya hahaha.
Ada lagi alasan lain saya tidak mau menggunakan celengan/wadah yang sulit diakses. Kisah ini dialami sepupu saya sendiri. Ia menabung dari kecil, sepertinya lebih dari 6 tahun, apa malah sampai 12 tahun belum dibuka gitu. Ketika dibuka… ya jumlah uangnya banyak sih, tapi… isinya mayoritas uang lama :") hahaha…
Malah sia-sia tabungannya, karena uang lama tersebut sudah tak berlaku sejak 2 tahun silam. Dari peristiwa tersebut, tentu saya mengambil pelajarannya.
Cuma ya begitu, dengan celengan yang mudah dibuka tutup, kontrol diri sendiri yang harus betulan diatur biar nggak mudah tergoda mengakses tabungannya.
Dan salah satu alasan saya memecah belah tabungan juga yaa… itu. Biar kalau 1 tabungan terakses, yang lain masih aman tak terjamah.
- Bisa menabung dengan tujuan di awal, boleh juga tidak/belum ada tujuannya atau tujuannya sambil jalan.
Sering saya bertemu orang yang bilang: "Ngapain punya uang disimpan-simpan begitu doang, mending uangnya dipakai buat apa gitu, atau sekalian diputar buat bisnis."
Ya tentu omongan dia benar yang soal bisnis, tapi yang soal dipakai buat apa gitu, saya nggak setuju sih.
Jadi maksud saya begini… yang soal bisnis, saya setuju. Karena uang paling bagus memang yang berputar jadi modal usaha dan menghasilkan. Tapi… berbisnis kan nggak semudah itu juga, maksudnya nggak bisa gegabah walau tak boleh terlalu lama pertimbangan juga, dan nggak semua orang berbakat.
Jadi selama orang belum yakin atau anggap belum mampu berbisnis, yaa… daripada uangnya dihamburkan begitu saja, masih lebih baik kalau ditabung. Mungkin nantinya tabungannya kan bisa buat investasi atau bagaimana misal nominalnya sudah terkumpul sekian. Atau minimal sekali, harusnya orang yang punya tabungan itu nggak punya utang pada orang lain ya, jadinya nggak merepotkan orang lain gitu.
Gitu deh, tetap saya lebih mendingan orang menabung, bahkan misal tanpa/belum ada tujuan sekalipun, daripada orang yang sedang nggak ada tujuan, lalu… ya sudah. Uangnya dipakai-pakai saja, dihamburkan untuk jajan, hiburan, dan sebagainya yang cuma "begituan doang".
Ya melakukan "begituan doang" nggak masalah sih misal ada uangnya, tapi saya pribadi tipe orang yang cuma mau bersenang-senang dengan sisa uang setelah saya tabung sebagian sih.
Namun di sekitar saya, cukup banyak orang yang begini nih. Misal dia mau beli hp baru, maka dia akan menabung. Misal sudah punya atau nggak butuh hp baru? Ya sudah, nggak akan menabung. Mau baju baru, dia nabung. Kalau sudah punya atau nggak butuh lagi, ya sudah nggak nabung lagi. Jadi menabungnya temporer begitu.
Ya sebetulnya pada akhirnya nggak masalah sih, wong uang dia, selama dia nggak merugikan saya karena habitsnya itu sih, yaudah gapapa. Cuma saya agak menyayangkan saja, uang orang itu masalahnya cukup banyak. Sedangkan di sisi lain, saya tahu banyak juga orang yang nggak bisa menabung, bukan karena nggak mau, tapi nggak bisa karena memang nggak ada uang yang buat ditabungnya, pasti terpakai untuk menambal kebutuhan hidup. Ya kalau kasus yang begitu sih, itu bisa dimaklumi kalau tak punya tabungan. Tapi yang terlalu foya-foya ini lhooo… hahaha…
Cuma nggak apa sih, intinya selama dia masih punya uang untuk foya-foya, foya-foyanya nggak merugikan orang lain, itu nggak masalah. Wong uang ya uang dia gitu. Pokoknya selama dia nggak merugikan saya, saya bodoamat. Atau malah saya turut senang, kan dia punya uang cukup bahkan berlebih untuk menikmati kemewahan dalam hidup, patut disyukuri sih. :)
Tapi misal udah ke tahap meminjam uang teman cuma buat menutupi lifestyle… wah, itu merugikan temannya sih. Saya nggak sukanya orang begitu hahaha…
Lah, malah melenceng hahaha 😅 tapi intinya begini…
Misal memang punya uang/merasa punya/dipunya-punyakan, usahakan tidak menabung temporer, namun jangka panjang. Tak masalah belum ada tujuannya, tabung saja dulu misal memang punya uang. Lagipula, bukankah sering kita menginginkan sesuatu ketika sedang tak punya uang? Dan sebaliknya, ketika sedang punya uang malah tak ingin apapun.
Saya mengilustrasikannya begini…
Lebih pilih mana, mau punya barang baru saat ini tapi harus menabung dulu dan terbeli tahun depan, atau mau punya barang baru dan bisa langsung beli karena uang tabungannya sudah ada? :)
Saya sih kalau bisa tipe orang yang lebih suka "ada uangnya aja dulu, perkara nanti mau diapakan ya itu urusan nanti".
Jadi, tujuan menabung itu bisa belakangan juga kok, nggak melulu menabung itu harus selalu ada tujuannya dan sistemnya temporer.
- Menabung untuk investasi dan/atau bisnis.
Khusus orang yang nominal tabungannya sudah cukup untuk memiliki deposito, emas batangan, reksadana, dan hal-hal lain semacamnya, bisa lah uang tabungannya dialihkan sebagian ke hal macam ini, jadi nggak hanya berwujud uang.
Yang ada bakat bisnis juga bisa tuh sebagian tabungan dialokasikan ke sini.
- Buat jatah tabungan khusus social events dan/atau utang-piutang.
Alhamdulillahnya sih orang-orang di sekitar saya nggak terlalu gemar berurusan dengan utang piutang, nggak tahu kalau yang di sekitar orangtua saya. Tapi entah sejak kapan, saya membuat tabungan khusus social events dan utang piutang ini. Jadi… misal ada orang mau pinjam uang, atau ada event yang butuh bayar-bayar begitu, saya bisa ada uangnya, merogoh dari sini. Sehingga walaupun ngutangin orang lain ataupun bayar iuran atau mengisi amplop, nggak bakal segitunya mengganggu kestabilan keuangan saya. Kalau tabungan ini suatu hari kosong? Yhaaa monmaap, udah gabisa bantu lagi, uangnya udah habis soalnya, gapunya duit. (Tapi sebenarnya tergantung alasan orang itu minjam uang juga sih, sedikit fleksibel saya soal ini).
Membantu orang lain tentu bagus, tapi jangan sampai malah diri sendiri yang terseok-seok, apalagi misal yang dibantu ternyata… dari golongan manusia yang nggak tahu diri wkwkwk. Kita sendiri susah payah mencari atau mengumpulkan duit biar mandiri nggak merepotkan orang lain, biar nggak perlu ngutang, kok orang ada gitu ya seenaknya minjam tapi ngelunjak -_- hahaha. Orang begini kalau bisa jangan terlalu dikasih hati, kecuali emang kita merasa udah terlalu berkecukupan dan emang ikhlas, yaudah gapapa kasih aja dia pinjaman bahkan walau nggak dibalikin lagi wkwkwk
- Mungkin ini terakhir ya, jangan lupa sedekah/infaq/berbagi untuk orang lain, lingkungan, maupun kemaslahatan bersama.
Di awal sudah sempat saya singgung sih, tapi diulang lagi di akhir nggak masalah kan? :)
Jangan lupakan berbagi kepada orang lain dan lingkungan. Karena bisa saja rezeki mereka ditakdirkan hadir melalui perantara tangan kita. Who knows?
Kalau dalam Islam sih biar berkah juga.
Dan buat muslim yang sudah wajib zakat, jangan lupa bayar zakat profesi ya.
Panjang juga yaaa tulisan ini, pantesan berminggu-minggu nggak selesai-selesai. XD pegel euy.
Sekian tips menabung versi saya, semoga ada manfaatnya. :) happy savings money!
30/08/20
*telah ditulis di suatu akun pribadi saya
Senin, 24 Agustus 2020
Manusia Jembatan
Minggu, 23 Agustus 2020
Midnight Poem part 3 (20)
Bagian dari Midnight Poem another side: Sajak untuk (mantan) Calon Tuan Keempat
Apa yang Membuatmu Menangis Hari Ini?
Tulisan ini kutuliskan untuk teman baikku, sekaligus (mantan) Calon Tuan Midnight Poem keempat. :)
*****
Setelah seharian kemarin menerka-nerka "bakal ada yang pergi", akhirnya pagi-pagi saya dapat DM dari seseorang yang…
Saya bingung mendefinisikan hubungan kami. Lebih tepatnya, saya selalu berusaha less expectation ke orang lain.
Orang lain itu cuma datang sementara kalau lagi sama-sama ada perlu aja, sebaik apapun hubungan kita, nanti juga mereka pergi, jangan berekspektasi apalagi sampai berlebihan menganggap orang lain spesial. Kecuali sudah ada suatu peristiwa yang "membuktikan".
Sampai tanpa sadar, pemikiran tersebut kadang malah membuat saya memperlakukan orang yang sebenarnya saya anggap penting seolah-olah dia/mereka tidak penting.
Saya sudah mulai muak terluka, malas mengobatinya, karena makan waktu tak sebentar.
Jadi anggap saya tak suka ditinggal, tapi tanpa sadar malah saya yang bisa meninggalkan duluan agar tak ditinggalkan. Sebelum saya terlanjur tak sanggup meninggalkan.
Hahaha…
Jadi, saya dengan teman saya ini pun begitu. Saya less expectation ke dia. Hubungan kami selama ini baik, baik kok. Malahan keren, kami nyambung. Bahkan meski hanya berinteraksi melalui kolom komentar, tanpa pernah DM samasekali, tapi saya merasa nyambung dengan dia.
There is something between us. There is soul connection, I knew it, and maybe he realized the same.
Tapi… nggak sih, maksudnya dia sadar, tapi kukira dia tak sepeka saya hahaha. Cuma memang selama ini dia selalu merespon saya dengan baik, dan dia memang orang yang peka juga. Saking baiknya, sampai kami dengan ajaibnya bisa jadi kakak-adek di kolom komentar 😂 ya soalnya memang cukup seru tiap kali kami komen-komenan.
Namun awalnya saya anggap dia merespon itu hanya bagian dari keramahan saja. Sudah kubilang, saya less expectation. Saya memang menganggapnya teman, tapi siapa tahu dia cuma anggap saya hanya salah satu dari sekian banyak komentator yang kebetulan pernah ia komeni atau pun pernah ia balas kan? Soalnya dia memang ramah ke siapa saja.
Jadi saya anggap, disini yang "berharap" cuma saya. Saya belum tentu "dianggap" olehnya.
Suatu hari, harapan saya akan pertemanan kami mulai bertambah. Namun harapan itu langsung saya tepis. Godaan untuk berusaha makin akrab muncul, tapi ujungnya saya malah makin menahan diri dan mulai jaga jarak.
Kalau memang dia mau berteman denganku juga, tak perlu aku yang mendekat, dia juga akan melakukan yang sama. Setidaknya yaa… kami biasa saja gitu, tak perlu ada yang mendekati, saling komen saja misal kebetulan sedang "bertemu".
Lalu, entah perasaan saya, dan saya juga tak tahu ini perasaan settingan saya sendiri agar "kebal", atau memang firasat saya, dia pun seolah mulai menjauhi saya.
Ok, tak masalah. Memang kami kan cuma kebetulan waktu itu saling beramah tamah. Memang ada "soul connection", tapi… kehidupan di dunia ini pun terdiri dari beberapa opsi terbatas yang tersedia untuk dipilih. Nah, untuk saya dengan dia, kan bisa memilih, koneksinya mau diabaikan saja atau ditanggapi. Hahaha…
Anggap kami mengabaikannya, atau saya yang mengabaikannya dan dia sendiri tidak tahu soal ini. Jadinya… kami merenggang (?) atau yaa… tak kunjung "bertemu" lagi.
Hingga tadi pagi, saya dapat DM…
Menurut saya pribadi itu… bittersweet sih.
Dia… "pamitan" pada saya.
Dan ketika saya coba tanya teman saya yang kenal dengan dia juga, teman saya tidak mendapat DM seperti saya.
Saya tidak tahu siapa lagi yang dia pamiti selain saya, apakah ada juga atau malah tidak ada. Namun, saya termasuk salah seorang yang di DM.
Dan seperti saya bilang sebelumnya, menurut saya itu bittersweet.
Bukan bittersweet yang ini sih, kalau ini sih American Bittersweet Vine hahaha…
Bittersweet… karena…
Di satu sisi saya jadi sadar bahwa ternyata selama ini saya juga dianggap temannya, dan cukup dihargai sampai dia pamitan di DM segala. Padahal bahkan sebelumnya kami nggak pernah merambah ke DM lho (selain memang nggak ada keperluan, saya juga sengaja menahan diri untuk "membuat keperluan").
Sebenarnya sangat wajar kalau dia "pergi ya pergi aja gitu, gausah pamitan". Toh kalau dilihat secara kasat mata kami tak segitu dekatnya sampai ke level perlu pamitan.
Yaiyalah… Temanannya di komentar, pamitannya malah lewat DM, malah aneh nggak sih? HAHAHA…
Tapi, entah dia memang baik dan sopan, atau memang betul saya dianggap cukup penting untuk dipamiti, dia sempat pamit dulu pada saya. Saya merasa dihargai sih, terharu. :")
Itu sisi sweet nya. Saya jadi tersadar kalau kami memang sama-sama saling menganggap penting satu sama lain. Bukan cuma saya yang menganggap dia. Malahan mungkin dia lebih menghargai saya lebih dari yang saya kira. Rupanya "yang kemarinan" itu bukan cuma keramahan dan sopan santun belaka, memang cukup ada maknanya buat kami masing-masing.
Sisi bitter nya… saya lagi-lagi ditinggal oleh teman yang saya senangi. Hahaha… :") dan saya justru malah jadi merasa "kehilangan" karena di DM olehnya T_T mendingan gausah DM samasekali, saya malah bakal biasa aja, palingan cuma bertanya-tanya: "Dia ini kemana ya, udah lama nggak muncul deh, kangen tulisannya."
Di DM (mana pesannya berasa deep friendship banget) begitu malah bikin saya jadi sedih. Bukan sedih karena nggak merelakan dia pergi—padahal demi kebaikan dia, tapi lebih ke… apa ya?
Ya bittersweet itu. Ketika saya merasa sedang jaga jarak dari dia dan berusaha nggak menganggap dia, dianya malah pamitan, hingga saya jadi merasa senang karena dianggap sekaligus sedih karena ditinggal. Haduuu… :"
Begitulah pokoknya, karena perasaan saya campur aduk tiga hal sekaligus, akibatnya saya menangis sepagian ini. Nggak kuat. :"
Huhuhu… my dongsaeng. Semoga kita masih ada jatah takdir berjumpa lagi ya, kawan. Aamiin. Dan semoga seperti harapmu, radarku masih "peka" seperti sekarang supaya masih bisa mengenalimu misal kita berjumpa lagi. :) hehehe… Atau misal kamu yang "menemukanku" duluan, boleh lah menyapaku duluan hahaha. :D
Yah, pokoknya semoga misal kita bisa "berjumpa" lagi untuk yang kedua kalinya, macam di cerpen yang sempat kita bahas, kita bisa saling mengenali, sehingga "perjumpaan" nya nggak cuma sebatas papasan doang macam di kisah cerpen itu. Hahaha :D semoga bisa balik akrab jadi dongsaeng-nuna kayak sebelumnya :) Aamiin.
Thanks for being my nice friend, my lil bro, my dongsaeng, mantan calon papa angkat hahaha :D I think, I'll remember you for a long time. :) hihihi…
Oiyaaa… jadi ingat tulisanmu yang ini…
Maaf ya aku malah nggak "menemanimu" sampai akhir :") hahaha. Kalau tahu bakal begini, "kutemani" deh. Tapi sepertinya memang kita belum sampai levelan ini sih. Semoga suatu saat ada kesempatan untuk memperbaikinya. Aamiin. Atau minimal yaa… kita berteman lagi misal masih ada kesempatan bertemu lagi di masa depan hahaha :D
Pokoknya, aku berharap kita bisa ketemu lagi sih, walau mungkin kayak katamu, mungkin masih lamaaaa hahaha 😂
:) hehehe… Semoga dimana pun kamu berada sekarang, kamu baik-baik saja. Good luck! ^^
Sekalian memenuhi ucapanku yang pernah terlontar, namun belum terealisasi hingga kini. Nggak bisa tag kamu, bikin tulisan tentangmu aja deh. Hahaha… 😂
23/08/20
Your sister, your buddy :)
*disalin dari suatu akun pribadi saya.
Cerpen Haruki Murakami: Dia yang 100% Sempurna
Sejujurnya, dia tidak terlalu cantik. Dia juga tidak terlalu menyolok. Pakaian yang dikenakannya tidak terlalu spesial. Dan rambutnya masih menyisakan jejak ranjang seolah tak disisir merata. Dia juga tidak terlalu muda, kuperkirakan usianya sekitar 30 tahun, dan sebenarnya tidak cocok dipanggil dengan kata ‘gadis’. Meski begitu, aku tahu saat melihatnya dari kejauhan 0.05 kilometer : Bahwa dia adalah gadis yang 100% sempurna untukku. Begitu aku melihatnya, ada gemuruh yang timbul di dadaku, lalu mulutku mendadak kering seperti padang pasir.
Mungkin Anda punya tipe gadis favorit dan dia mungkin memiliki pergelangan kaki yang ramping, atau sepasang mata yang besar, atau jemari yang lentik, atau Anda menyukai seorang gadis yang selalu menghabiskan waktu lama sekali untuk bersantap, entah kenapa. Aku juga punya tipeku sendiri. Sesekali, saat aku ada di sebuah restoran, aku sering curi-curi pandang ke arah gadis yang duduk di meja sebelahku hanya gara-gara aku menyukai bentuk hidungnya.
Namun bagi seorang laki-laki yang hatinya telah kepincut, maka gadis yang 100% sempurna itu takkan ada tandingannya. Walau aku suka memperhatikan bentuk hidung orang, namun aku tidak ingat bentuk hidung gadis yang sempurna itu atau apakah dia punya hidung sama sekali. Yang kuingat dengan pasti adalah gadis itu bukan gadis tercantik sedunia. Aneh, kan?
“Kemarin, di jalan, aku melewati seorang gadis yang 100% sempurna,” ujarku pada seseorang.
“Masa?” sahut orang itu. “Cantik?”
“Tidak juga.”
“Kalau gitu dia tipe kesukaanmu?”
“Entahlah. Aku bahkan tidak ingat terlalu banyak hal tentang dia seperti bentuk matanya atau ukuran dadanya.”
“Aneh.”
“Aneh sekali.”
“Lantas,” tutur lawan bicaraku yang mulai bosan. “Apa yang kau lakukan? Menyapanya? Atau membuntutinya?”
“Tidak. Aku hanya numpang lewat di hadapannya.”
Gadis itu berjalan dari arah timur ke barat, sedangkan aku dari barat ke timur. Sungguh pagi yang cerah di bulan April.
Seandainya saja aku bisa menyapa dia. Aku hanya butuh setengah jam: untuk bertanya tentang siapa dia, lalu aku kan memberitahukan siapa aku, dan yang sangat ingin kulakukan menjelaskan kepadanya tentang betapa rumitnya cara kerja takdir untuk mempertemukan aku dan dia di pinggiran jalan di area Harajuku di sebuah pagi yang cerah di bulan April tahun 1981. Kejadian ini tentunya melibatkan banyak rahasia yang tidak kita ketahui seperti jam antik yang dibuat saat perang dunia usai.
Setelah mengajaknya bicara, kami akan pergi makan siang bersama, lalu menonton film besutan Woody Allen di bioskop, dan dilanjutkan dengan acara minum-minum di bar hotel. Bila keberuntungan ada di pihakku, kami akan mengakhiri kebersamaan ini di atas ranjang.
Kemungkinan-kemungkinan yang belum terjamah itu mengetuk pintu hatiku.
Sekarang jarak di antara kami menyempit jadi 0.013 kilometer.
Bagaimana sebaiknya aku mendekati dia? Apa yang harus kukatakan?
“Selamat pagi, nona. Maukah kau menyisihkan waktu selama setengah jam untuk berbincang?”
Konyol. Aku terdengar seperti salesman asuransi.
“Permisi, apakah kau tahu tempat cuci baju yang buka sepanjang malam di sekitar sini?”
Tidak, sama saja konyolnya. Aku juga tidak bawa baju kotor. Siapa yang akan percaya?
Mungkin aku harus jujur. “Selamat pagi. Kau adalah gadis yang 100% sempurna untukku.”
Tidak, dia takkan percaya. Atau bila dia percaya, dia mungkin takkan mau berbincang denganku. Maaf, dia akan berkata padaku, aku mungkin gadis yang 100% sempurna untukmu, tapi kau bukan pemuda yang 100% sempurna untukku. Bisa saja kan? Dan jika aku berada dalam situasi itu, hatiku pasti hancur. Aku takkan pernah bisa mengatasinya. Usiaku 32 tahun dan di usia sepertiku seharusnya aku bisa menerima penolakan dengan dada lapang.
Kami melewati sebuah toko bunga. Udara pagi berembus ringan dan membelai kulitku dengan kehangatan. Lapisan aspal di bawah kakiku tampak lembap dan aku mencium sekelebat wangi bunga. Aku tidak berani menyapa gadis itu. Ia mengenakan sebuah sweater berwarna putih dan di tangan kanannya ada secarik amplop putih yang hanya butuh perangko saja untuk diposkan. Jadi: gadis itu sudah menulis surat untuk seseorang, mungkin menghabiskan waktu semalaman menulisnya, apalagi melihat matanya yang berat karena kantuk. Di dalam amplop itu mungkin saja terselip seluruh rahasia hidupnya.
Aku mengambil beberapa langkah ke depan, lalu membalikkan badan: gadis itu menghilang di tengah keramaian.
***
Sekarang aku baru tahu bagaimana seharusnya aku menyapa gadis itu. Tentunya aku harus memberikan pidato panjang, terlalu panjang untuk kusampaikan dengan baik. Semua ide yang ada di kepalaku memang tidak ada yang praktis.
Oh well. Tadinya aku akan memulai pidato itu dengan kalimat “Pada suatu hari” dan diakhiri dengan “Cerita yang sedih, bukan?”
Pada suatu hari, hiduplah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia pemuda itu delapan belas tahun; dan gadis itu enam belas tahun. Pemuda itu tidak terlalu tampan, dan gadis itu tidak terlalu cantik. Mereka adalah muda-mudi yang seperti pada umumnya cenderung kesepian. Namun mereka percaya sepenuh hati bahwa di dunia ini ada pasangan hidup yang 100% sempurna untuk mereka. Ya, mereka percaya pada mukjizat. Dan bahwa mukjizat bukanlah hal yang mustahil.
Suatu hari, si pemuda dan gadis itu tak sengaja berjumpa di ujung jalan.
“Luar biasa,” ujar si pemuda. “Aku sudah mencarimu seumur hidupku. Kau mungkin tidak mempercayai ini, tapi kau adalah gadis yang 100% sempurna untukku.”
“Dan kau,” balas gadis itu. “Kau adalah pemuda yang 100% sempurna untukku, persis seperti pemuda yang kubayangkan selama ini. Seperti mimpi rasanya.”
Mereka duduk di atas kursi taman, berpegangan tangan, dan menceritakan kisah hidup mereka masing-masing selama berjam-jam. Mereka tidak lagi kesepian. Mereka telah menemukan dan ditemukan oleh pasangan masing-masing yang 100% sempurna untuk mereka. Betapa indahnya menemukan dan ditemukan oleh pasangan yang 100% sempurna untuk kita. Sebuah mukjizat, sebuah pertanda.
Namun, saat mereka duduk dan berbincang, masih ada sedikit rasa ragu yang menggantung di dada: apa mungkin impian seseorang terkabul begitu saja dengan mudahnya?
Maka, ketika keduanya terdiam, si pemuda mengambil kesempatan untuk berkata kepada gadis itu: “Mari kita uji diri kita—sekali ini saja. Jika kita memang pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain, maka di suatu saat, di suatu hari, kita pasti berjumpa lagi. Dan ketika itu terjadi, dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain, maka kita akan menikah saat itu juga. Bagaimana?”
“Ya,” kata si gadis. “Itu yang harus kita lakukan.”
Kemudian mereka berpisah. Si gadis melangkah ke arah timur, sementara si pemuda ke arah barat.
Meski begitu, proses uji itu sebenarnya tidak perlu mereka lakukan, karena mereka memang benar pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain dan pertemuan awal mereka adalah sebuah mukjizat. Tapi mereka tak mungkin mengetahui semua ini di usia belia. Gelombang takdir yang dingin dan tak pandang bulu terus membuat mereka terombang-ambing tanpa akhir.
Pada suatu musim dingin, si pemuda dan si gadis menderita sakit flu yang terjangkit di mana-mana. Setelah dua minggu terkapar tanpa daya, mereka pun lupa terhadap tahun-tahun remaja mereka. Ketika mereka tersadar, ingatan mereka sama kosongnya seperti celengan baru.
Keduanya adalah individu yang cerdas dan ambisius dan dengan usaha keras mereka berhasil membangun hidup mereka hingga menjadi sosok terpandang di masyarakat. Syukurlah, mereka juga menjadi warga yang taat peraturan dan tahu caranya naik kereta bawah tanah tanpa tersesat yang sanggup mengirimkan surat dengan status kilat di kantor pos. Dan mereka juga sanggup jatuh cinta, terkadang cinta itu mengisi hati mereka sampai 75% atau bahkan 80%.
Waktu berlalu dengan kecepatan tak terduga mendadak si pemuda telah berusia 32 tahun dan si gadis 30 tahun.
Di suatu pagi yang cerah di bulan April, dalam perjalanan untuk membeli secangkir kopi, si pemuda melangkah dari arah barat ke timur, sementara si gadis, dalam perjalanan ke kantor pos, melangkah dari arah timur ke barat. Keduanya menelusuri pinggiran jalan yang memanjang di sebuah area pusat perbelanjaan di Tokyo yang bernama Harajuku. Mereka saling melewati satu sama lain tepat di tengah jalan. Ingatan mereka kembali samar-samar dan untuk sesaat hati mereka bergetar. Masing-masing merasakan gemuruh yang mendesak dada. Dan mereka tahu:
Dia adalah gadis yang 100% sempurna untukku.
Dia adalah pemuda yang 100% sempurna untukku.
Namun, sayang, gema ingatan mereka terlalu lemah, dan pikiran mereka tak lagi jernih seperti empat belas tahun lalu saat pertama kali berjumpa. Tanpa mengutarakan sepatah kata pun, mereka melewati satu sama lain begitu saja, hilang di tengah keramaian. Selamanya.
#CATATAN:
> Cerpen ini berjudul On Seeing the 100% Perfect Girl One Beautiful April Morning karya HARUKI MURAKAMI dan disertakan dalam koleksi cerita pendek berjudul The Elephant Vanishes (Random House, 1993).
>> HARUKI MURAKAMI adalah seorang penulis dan penerjemah asal Jepang yang telah menerbitkan sejumlah novel, koleksi cerita pendek dan esai. Beberapa karyanya yang telah mendunia, termasuk di antaranya: Kafka on the Shore, The Wind-Up Bird Chronicle, Norwegian Wood, dan—yang terakhir—IQ84. Karya non-fiksi yang ia terbitkan termasuk di antaranya: Underground: The Tokyo Gas Attack and the Japanese Psyche dan What I Talk About When I Talk About Running.
*****
Selasa, 18 Agustus 2020
Bagian dari Midnight Poem: 2 Tahun!!
Kamis, 13 Agustus 2020
Midnight Poem part 3 (19)
Sabtu, 08 Agustus 2020
Kata-Kata untuk Diri Sendiri 3 Tahun ke Depan
Kamis, 06 Agustus 2020
Bagaimana Anda memandang urusan dunia dan akhirat?
Saya pribadi menganggap dua urusan itu berkaitan dan merupakan satu kesatuan. Kalau saya berbuat buruk di dunia, di akhirat saya bakal dapat balasannya. Dan sebaliknya, kalau saya betul-betul memikirkan akhirat saya, harusnya saya berusaha sebaik-baiknya memperbaiki kehidupan dunia saya sesuai dengan perintah Tuhan yang saya imani dan sembah. Tidak perlu dipilih dan dipisahkan, cukup berusaha dijalani sebaik-baik yang saya mampu dan mau mengusahakan.
Selain itu, saya percaya Tuhan yang saya sembah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun dan punya "cara-Nya" yang seringkali terasa tidak cocok dengan logika manusia. Saya juga percaya "keajaiban Tuhan" yang kadangkala muncul sebagai bentuk kasih sayang-Nya terhadap hamba-Nya, anggap macam bonus yang menyenangkan. Hanya saja keajaiban yang saya percayai ini tidak boleh saya jadikan opsi utama saya untuk mengurus urusan dunia, karena kan sifatnya cuma macam bonus yang tak selalu ada, karena Tuhanku juga menghargai ikhtiar/usaha. Cuma, percaya pada Tuhanku dan segala kuasa dan kemampuan Nya memberikan rahmat dan berkah di luar nalar manusia jika Dia menghendaki, bagi saya itu tetap harus. Jadi tak 100% mengandalkan Tuhan, tak 100% pula melepas Tuhan.
Ada juga sih berbagai macam hal buruk di dunia ini, saya percaya juga itu terjadi atas kehendak-Nya. Hanya saja, misal itu terjadi… haruskah saya yang "mempercayai Tuhanku" ini jadi menghujat-Nya? Lah malah merembet ya hahaha… tapi pokoknya saya punya jawaban pribadi saya untuk pertanyaan ini, dan saya nggak peduli jawabannya orang lain, karena keimanan pada akhirnya kan urusan masing-masing orang ya.
Intinya, urusan dunia akhirat bagi saya pribadi adalah berkaitan dan tak perlu dipisahkan, hanya perlu diusahakan sebaik-baiknya sesuai ketentuan yang ada dan mampu dan mau dilakukan, jika ingin hasil yang baik dikeduanya. Yang mampu dan mau ya, dan pada akhirnya yang paling sadar soal "seberapa mampu dan mau" itu kan diri sendiri.